depok baru – duren kalibata

“Stasiun berikutnya, Duren Kalibata.”

Suara perempuan dari pengeras suara itu membuat saya beringsut perlahan.  Menerobos sejumlah orang di dekat pintu. Harus perlahan, atau akan membuat mereka tak nyaman, seraya mengucap, “Permisi…”

Empat hari kemarin saya jadi penumpang commuter line Jakarta-Bogor. Berangkat dari Stasiun Depok Baru, turun di Stasiun Duren Kalibata. Pada malam hari, saya menempuh arah sebaliknya.

Saban mau turun di perjalanan pagi, secuil rasa cemas menyergap. Kereta sangat penuh. Sebagai gambaran, kita tak bisa merentangkan tangan ke depan atau ke samping tanpa menyentuh orang lain. Tak bisa, bahkan setengah tangan pun.

Nah, di setiap stasiun,  kereta berhenti sebentar saja. Hanya sekitar satu menit. Jika terlambat keluar, pintu tertutup dan kita harus terbawa ke stasiun berikutnya. Tanpa ampun!

Di sana, mustahil kita tak bersentuhan. Juga dengan lawan jenis. Kaum pengusung segregasi jenis kelamin seharusnya protes keras. Cuma, biasanya, dua gerbong di ujung kereta dikhususkan untuk kaum Hawa.

Pada Jumat kemarin, kereta berangkat dari Depok Baru pada pukul 06.39. Tiba di Duren Kalibata pada pukul 07.16. Sangat cepat untuk ukuran Jakarta. Jarak kedua tempat itu sekitar 18 kilometer. Ingat, jalur itu melewati kawasan Lenteng Agung-Pasar Minggu yang tersohor kemacetannya.

Saya belum pernah merasakan kepadatan yang sama pada MRT Jakarta. Bahkan pada jam-jam sibuk. Saya hanya punya satu dugaan: harga tiket MRT membuatnya secara otomotis membatasi zona ekonomi pengguna. Berbeda dengan commuter line yang jauh lebih murah.

Situasi commuter line pada Sabtu pagi.

Pada Sabtu pagi, situasi lebih manusiawi. Kereta tak sepadat Senin sampai Jumat. Namun, kalau naik dari Depok Baru, tetap jangan berharap untuk duduk–kecuali Anda sudah terlihat sangat sepuh.

Ini jelas moda transportasi yang tidak bersahabat dengan para kaum difabel.  Bagaimana bisa mereka mengejar ‘kecepatan’ pintu yang segera menutup itu?

Ini khas Jakarta? Tidak. Kalau menggunakan subway train di Tokyo, situasi umpel-umpelan juga mudah Anda pergoki pada jam-jam sibuk. Bahkan para petugas lazim mendorong masuk para penumpang agar pintu bisa ditutup.

Bagaimana pun, perkeretapian Indonesia sudah jauh membaik. Ignasius Jonan punya andil besar dalam mengubahnya ketika menjabat Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia (KAI). Mulai dari 2009 itu, tak ada lagi penumpang yang merokok, pedagang berseliweran di gerbong, dan penumpang di atap. Ketepatan waktu perjalanan juga bisa diandalkan. Dan seterusnya.

Soal kepadatan, lain cerita. Maka, ketika suara perempuan itu terdengar, saya bergerak dengan semacam rasa cemas. Saya tak mau terbawa sampai Stasiun Cawang.

rok mini dan media sosial

Hanya delapan baris. Pesan pengirimnya, Lela, terang-benderang: kontes rok mini itu mengekspos aurat wanita.  “Apalagi ketua tim juri adalah Titiek Puspa, penyanyi terkenal, hajjah, dan anggota MPR,” tulis Lela yang saat itu adalah mahasiswa Fakultas Hukum UII, Yogyakarta.

Protes ini disampaikan ketika belum ada media sosial. Dimuat di rubrik surat pembaca TEMPO edisi 17 September 1988. Saya menemukannya saat ngabuburit di Blok M Square di lapak-lapak bacaan lawas.

Lela dan teman-temannya tak punya banyak keleluasaan. Hanya ada media massa arus utama: koran, majalah, radio, dan televisi.  Para pengelola memasang filter ketat dalam memilah dan memilih konten. Kita abaikan pertimbangannya — mungkin politis, entah ekonomis. Yang pasti  tak gampang bagi ‘nobody’ seperti Lela untuk bersuara dan didengar publik.

Itu sebabnya hadir  kebanggaan tersendiri jika seseorang bisa menembus halaman opini Kompas. Ah, jangankan Kompas, dimuat di Pikiran Rakyat saja membuat penulisnya seperti punya hak menepuk dada.

Bahkan sekadar mengirim surat pembaca, belum pasti dimuat. Mesti bersaing dengan ribuan surat lain. Antre atau dibuang ke keranjang sampah. Jika dimuat, usianya hanya sehari. Besok ada surat-surat lain. Jangan bayangkan pesan itu menjadi viral. Nyaris tak pernah ada.

Lupakan menulis kolom di TEMPO. Karena hampir semua merupakan tulisan pesanan redaksi. Mereka yang dipesan pun hanya nama-nama tenar di jagat penulisan: Emha Ainun Nadjib, Umar Kayam, Ong Hok Ham, atau Mahbub Djunaidi.

Saya membayangkan, jika kontes rok mini digelar hari ini, bisa dipastikan bakal jauh lebih riuh. Pro dan kontra meruyak. Pemrotesnya tak akan mengirim surat pembaca ke TEMPO atau Kompas. Tapi dia akan mengunggah ke media sosial, dilengkapi eflyer acara, dan ngetag sejumlah pihak. Tak perlu filter dari redaksi. Pun tak butuh antre – kelar ditulis, dalam hitungan detik langsung tersebar.

Usia pesan bukan hanya sehari. Bisa berhari-hari, bahkan sepekan. Berkat tombol share, pesan menjangkau sangat banyak orang di seluruh penjuru dunia. Berlipat ganda daya tekannya.

Pihak yang pro juga demikian, bakal mengeluarkan argumentasi-argumentasi. Debat tergelar, hiruk-pikuk mewarnai linimasa kita.

Demokratisasi informasi? Iya. Selamat tinggal ‘mercusuar opini’ yang dikekalkan media massa? Iya. Kehadiran blog beberapa tahun sebelumnya menjadi pembuka jalan menuju itu semua.

Tunggu dulu. Ini hanya satu sisi dari sekeping uang logam. Satu sisi lainnya sungguh mencemaskan. Media sosial membuat hoaks mudah sekali bergulir dan menyebar. Saya sendiri tak mendukung delik pencemaran nama baik. Enyahkan saja itu dari hukum positif kita — subjektif dan bersifat ‘karet’. Tapi beda dengan kabar bohong, fitnah, dan ujaran kebencian.

Kita menengok sebentar ke Myanmar. Penyelidik HAM dan tim investigasi PBB untuk kasus Rohingya menyebut Facebook diduga memiliki andil dalam terciptanya kerusuhan dan persekusi yang mengakibatkan ribuan orang tewas dan lebih 650 ribu orang mengungsi dari Rakhine pada 2017 lalu.

Tim investigasi menggarisbawahi: Facebook sangat populer di Myanmar dan membuatnya jadi saluran utama penyebaran ujaran kebencian yang menyasar kelompok Rohingya.

Myanmar hanya contoh. Di balik berkah media sosial, ada potensi musibah. Celakanya, musibah itu mustahil dikategorikan ‘enteng-entengan.’ Sedih sekali, misalnya, menonton video seorang anak muda yang bilang ingin memenggal kepala Jokowi. Juga kasus-kasus penyebaran kabar bohong, fitnah, dan ujaran kebencian lain di media sosial.

Sejumlah langkah telah dilakukan untuk membikin media sosial lebih sehat. Sejak 2018, Facebook mengembangkan program fact-checking untuk teks, lalu berlanjut untuk foto dan video. Tapi belum sepenuhnya berhasil. Masih jauh.

Bu Lela sendiri tak jauh dari usia 50 tahun kini. Barangkali punya akun media sosial. Jika punya uneg-uneg, mudah sekali menyampaikannya. Ia tak perlu lagi mengirim surat pembaca ke TEMPO dan lama menanti. Tak cuma delapan baris, boleh sesuka hati.

* Setelah diunggah, tulisan ini beberapa kali disunting. Terakhir pada Senin 3 Juni 2019 pukul 19.00 WIB.

kaum ngeyel

Raymond Babbit  adalah sosok dengan autisme tapi genius. Ia mampu menyelesaikan perhitungan rumit dengan sangat cepat. Juga memiliki ruang penyimpanan data sungguh besar di otaknya.

Tapi, tokoh dalam Rain Man ini tidak kuasa mengelola data-data itu  menjadi konteks yang koheren. “Apa pun yang diingat Ray jauh lebih penting ketimbang semua fakta lain di dunia,” tulis Tom Nichols dalam bukunya yang sangat relevan, The Death of Expertise.

Suatu hari, Ray (diperankan dengan gemilang oleh Dustin Hoffman) harus terbang dari Ohio ke California bersama saudaranya, Charlie (Tom Cruise yang memerankan). Ray panik dan menolak terbang. Ingatannya mencatat: semua maskapai pernah mengalami kecelakaan. Bahkan ia mengingat seluruh tanggal dan jumlah korban dalam masing-masing kecelakaan.

Charlie jengkel. “Jadi maskapai apa yang kamu percaya?”

“Qantas. Tidak pernah mengalami kecelakaan,” kata Ray.

Masalahnya, maskapai Australia tersebut tak melayani rute domestik di Amerika Serikat.

Akhirnya, mereka menuju California dengan mobil. Ray tak menolak. Kalau saja kepalanya terisi data kecelakaan mobil, cerita bakal berbeda.

“Kita semua rada mirip dengan Ray. Kita fokus ke data yang mengonfirmasi ketakutan kita atau mendukung harapan kita,” tulis Tom Nichols. Inilah bias konfirmasi.

Pada hari-hari ini, mudah belaka memergoki orang-orang yang mengidap bias konfirmasi. Tengok saja media sosial atau kehidupan riil. Ngeyel-nya minta ampun meski sudah disodori data atau fakta yang akurat.

Jadi teringat dengan frasa post-truth? Ya, mirip-mirip. “…relating to or denoting circumstances in which objective facts are less influential in shaping public opinion than appeals to emotion and personal belief,” demikian definisi post-truth di kamus Oxford.

Banyak juga dari mereka yang berpendidikan tinggi.  Celakanya, tak sedikit yang punya pengaruh di masyarakat.

Saya kok agak yakin fenomena kaum ngeyel (maafkan jika istilah ini kurang tepat) ini akan semakin marak pada hari-hari esok. Iklim curiga dan prasangka yang dicekokkan jadi pupuk mujarab untuk menyuburkannya. Satu lagi, kian banyak orang yang merasa jadi pakar hanya karena membaca satu-dua artikel di Internet.

Merisaukan? Pasti. Sebab kaum ngeyel ini berbeda dengan Raymond Babbit. Mereka berbahaya secara sosial.

 

selalu bersama di mana-mana

Sendiri.  Menyendiri. Mengapa kita cemas jika sendiri dan menyendiri?

Pada buku Roanne Van Voorst, Tempat Terbaik di Dunia: Pengalaman Seorang Antropolog Tinggal di Kawasan Kumuh Jakarta, terselip satu bab penting, menyentuh, sekaligus kocak soal “menyendiri.”

Di Indonesia, juga di Bantaran Kali yang pernah dihuni Roanne, ganjil belaka jika ada seseorang yang menyendiri.

Warga miskin di Bantaran Kali mengaku tidak takut dengan penyakit, banjir, atau penggusuran. Hal yang ditakutkan adalah “tidur sendirian” seperti yang dilakoni Roanne di kampung mereka.

Roanne, antropolog muda Belanda yang meneliti respons manusia terhadap banjir, tinggal di sebuah kampung kumuh di Jakarta. Lebih dari setahun. Bergaul dengan orang-orang di sana, coba memahami alam pikiran mereka.

Salah satu temuannya: mereka sangat terbiasa dengan kolektivisme. Kebersamaan. Nonton bola bareng, ngopi juga demikian. Dan seterusnya.

Padahal, di Belanda, kata Roanne, “Saya sering pergi berlibur tanpa pacar atau sangat menikmati pergi ke bioskop sendirian.”

Roanne bilang itu semua adalah cara untuk memulihkan tenaga, mengisi ulang energi sebelum melakukan perjumpaan-perjumpaan sosial berikutnya.

Saya kira, memang bukan hanya di Bantaran Kali. Ini fenomena umum di Indonesia. Kehadiran idiom “mangan ora mangan sing penting kumpul” sejatinya mengafirmasi prinsip hidup demikian.

Di sini, miskin bukan masalah sepanjang ada keluarga yang bisa menjadi semacam jaring pengaman sosial. Atau, tetangga yang siap menyingsingkan lengan baju jika kita memerlukan bantuan.

Tapi selalu ada batas seharusnya. Niscaya perlu momen-momen ketika kita hanya sendiri. Benar belaka kata-kata Roanne: berada di lingkungan pergaulan sosial kerap bikin lelah. Kita tak hanya berjumpa orang-orang yang sepemahaman. Tidak jarang kita dihadapkan pada pertikaian pendapat atau mereka yang mengeluh. Bukankah itu semua bikin capek?!

Menyendiri kini bukan monopoli para begawan atau resi. Dulu mereka menjauh dari keramaian, bermeditasi. Tapi siapa bilang kita, orang-orang biasa ini, tak perlu sesekali “bermeditasi”?

Bab berjudul “Selalu Bersama di Mana-mana” tersebut ditutup dengan kisah Roanne untuk menggapai “me time”-nya, yaitu nonton di bioskop. Di sana dia berharap bisa sejenak “menyendiri” setelah hampir 10 bulan tinggal di Bantaran Kali dan cuma pernah beberapa jam sendirian.

Dia membeli tiket, lalu  duduk nyaman di ruangan sejuk, siap menikmati hiburan. Tiba-tiba, dari belakang, meluncur suara seorang ibu, “Dari mana?”

“Dari Belanda,” jawab Roanne.

Si ibu kemudian meminta anak-anaknya menemani Roanne, di kiri dan kanan. “Senang kan, nonton film ramai-ramai kayak gini,” ujar dia.

warkop, pintu menuju kemasyhuran

Kasino Hadiwibowo diajak ke rumah bundar di Desa Rarahan, di kaki Gunung Gede. Rumah itu tak sampai satu kilometer dari pintu gerbang Kebun Raya Cibodas.

Mahasiswa Administrasi Niaga FISIP UI ini langsung terkesan, “Wuiihh, asyik tempatnya, mana udara dingin dan sepi suasananya,” kata Kasino.

Selanjutnya adalah bujukan agar Kasino mau bergabung dengan tim kecil Mapala UI untuk mengisi acara di malam api unggun di Perkampungan UI di Cibubur, akhir September 1973. Kasino direncanakan berduet dengan Nanu Mulyono, juga mahasiswa FISIP UI. Keduanya jago bercanda, piawai melempar humor.

Kasino setuju. Duet itu terbukti mampu bikin gempar. “…Kasino dan Nanu tampil gaya dengan gaya slengean. Penonton tertawa, panitia pun puas. Kasino dan Nanu menjadi bintang, a star is born kata Temmy (Lesanpura) yang jadi panitia inti,’ kenang Rudy Badil, aktivis Mapala UI, yang punya andil mempertemukan keduanya.

Kisah berlanjut. Selain kuliah di UI, Temmy juga bekerja sebagai Kepala Program Radio Prambors. Ia rupanya sangat terkesan dengan Kasino dan Nanu. Kepada Badil, ia minta mereka mau mengisi acara di Radio Prambors.

Kasino dan Nanu setuju untuk siaran. Badil juga diminta nimbrung. Mereka diminta untuk ngobrol yang lucu-lucu saja. Tapi punya isi. “Ingat ya, kalian mahasiswa yang biasa mengisi acara di alam terbuka, juga bawakan lagu-lagu kampus sambil cerita lucu-lucuan. Itu saja dipelihara, tapi pakai persiapan,” kata Temmy.

Dalam istilah Temmy, mereka diminta “bercanda otak.”

Djodi Wuryantoro, mahasiswa Psikologi UI dan juga penyiar Prambors, ikut melempar saran. Ia mengingatkan penampilan Kasino dan Nanu di Perkampungan UI. “Kasino sukses menyanyikan lagu pop dangdut yang bercanda abis soal nasib orang di bui… atau Nanu yang dengan suara serak dan kocokan gitar menyanyikan  Hello Dolly, menirukan Louis Armstrong. Atau Nanu dan Kasino duet dengan lagu Tirtonadi yang rada-rada porno. Itu kan ciri kalian. Itu aja yang diterusin,” kata Djodi.

Slot acara mereka di Kamis malam, pukul 21.00. Itu persis bersamaan dengan dimulainya acara Dunia Dalam Berita di TVRI, acara paling digemari se-Indonesia. Saat itu hanya ada TVRI, belum ada televisi-televisi swasta.

Acara malam Jumat itu pada mulanya hanya punya pendengar terbatas. Cuma kalangan mahasiswa UI. Sejak 1974, ketika lingkup pendengar mulai meluas, pengelola menamakan acara itu Warung Kopi Prambors. Mereka juga dikenal sebagai Warkop Prambors.

Mereka bertiga jadi penyebar terdepan gosip-gosip di seputar anak muda. Juga istilah-istilah khas yang dipakai semacam indehoy asoy, bohai, gintur, atau mana tahan.

Lalu, Wahyu Sardono atau Dono ikut bergabung. Itu bermula ketika mereka menjadi Panitia Pelaksana Pelatihan Nasional Lingkungan Hidup untuk Pemuda Indonesia di Puncak Pass, awal Juni 1975. Dono juga terlibat sebagai jurnalis yang membuat buletin harian acara pelatihan.

Saat malam tiba, mereka mengisi panggung kecil: ngobrol lucu dan menyanyi. Sepulang ke Jakarta, Dono dibujuk untuk ikut bergabung di acara malam Jumat itu.  Mahasiswa Sosiologi UI tersebut bersedia.

Kemudian, mahasiswa Universitas Pancasila bernama Indrojoyo Kusumonegoro atau Indro juga terlibat. Indro tinggal dekat dari studio Radio Prambors di Jalan Borobudur, Jakarta Pusat. Ayahnya seorang jenderal polisi. Kawasan tersebut memang banyak dihuni pejabat. Gubernur DKI Jakarta saat itu Ali Sadikin dan Pangkopkamtib Laksamana Sudomo juga tinggal di sana.

Foto: @Warkop_ID

PARODI LAGU MENJADI CIRI khas.  Nanu terampil memainkan gitar. Dia belajar sendiri, tak pernah ikut kursus.

Tak terlalu mahir bergitar, Kasino lebih menonjol sebagai penyanyi. Ia bisa bernyanyi dalam berbagai cengkok. Mulai dari Jawa, Batak, Betawi, sampai Mandarin. Urusan musik di Warkop, pria kelahiran Kebumen ini diplot sebagai frontman – seperti Ariel di Noah atau Duta di Sheila on 7.

Bahkan, pada 1979, Kasino diminta Guruh Soekarnoputra menyanyikan lagu Selamat Datang versi dangdut pada Pagelaran Karya Cipta Guruh Soekarnoputra 1979. Juga Jockie Suryoprayogo meminta Kasino menyanyikan parodi lagu Cinderella — aslinya dinyanyikan Ira Maya Sopha – di album “Musik Saya adalah Saya.”

Saat Indro direkrut, salah satu pertimbangan adalah kemampuan bermusiknya. Ia bisa bergitar dan meniup seruling. “Yang gua ingat itu gua disuruh menyanyikan lagu Melati-nya Grace Simon.  Tapi harus dalam langgam Jawa. Edan kan? Kurang kerjaan banget tuh Kasino…hehe…” kenang Indro.

Hanya Dono yang relatif tak bisa bermusik. Terkadang ia ikut menyanyi atau sekadar menabuh ketipung dan bongo.

Dengan parodi, mereka mengobrak-abrik lagu, terutama unsur liriknya.  Bayangkan lagu Kidung yang syahdu itu mereka acak-acak, menjadi menjurus porno.

Soal bahan lawakan, mereka banyak menyerap dari folklore, yang juga diajarkan di jurusan Antropologi. Dalam folklore, berlimpah cerita-cerita cabul, stereotip etnis, atau anekdot. Rudy Badil yang kuliah di Antropologi kerap diminta membawa bahan-bahan kuliah folklore yang diasuh Prof James Danandjaja. Itu semua dikemas ulang Warkop Prambors.

Ada satu contoh lelucon yang digali dari stereotip etnis. Jadi, ada calo bus di Lapangan Banteng, namanya Ucok. Suatu kali, dia ditusuk seseorang dan dibawa ke RSCM. Bapaknya datang sambil menangis, “Ucok, mangucaplah…Ucok, mengucaplah.”

Lalu, Ucok membuka mata dan berujar lirih, “Garogol…Garogol…”

MALAM TAHUN BARU 1977 menjadi pintu bagi kemasyhuran yang lebih gila. Warkop Prambors tampil di acara “Terminal Tempat Anak Muda Mangkal” di TVRI. Sejak itu, ketenaran mereka melebar se-Indonesia. Di sini, Rudy Badil sudah tidak aktif. Ia disibukkan dengan pekerjaan sebagai jurnalis Kompas.

Undangan manggung berdatangan. Dari seluruh penjuru Indonesia. Kocek mereka mulai tebal.

Rupiah kian berlimpah saat tawaran kontrak album kaset datang. Menariknya, album pertama berasal dari pertunjukan live mereka di Palembang. Ternyata sukses!

“Pramaqua langsung mengontrak Warkop untuk proyek kedua. “Kami membayar Warkop dengan jumlah fantastis, Rp 25 juta!” kata Johannes Soerjoko, bos Pramaqua.  Album yang dirilis Agustus 1979 itu juga meledak: terjual 180 ribu kaset dalam 45 hari.

Album kedua ini juga direkam live. Lokasinya Pontianak. Di album ini, Indro mengajukan teka-teki: apa bedanya laki-laki dengan sepak bola?

Tiga rekannya menyerah. Jawaban Indro, “Kalau sepak bola, penyerang membawa bola; bolanya masuk gawang, penyerang tunggu di luar. Kalau laki-laki, penyerang dibawa bola;  penyerang masuk gawang, bola tunggu di luar.”

—————–

Referensi: Warkop: Main-main jadi Bukan Main, Rudy Badil dan Indro Warkop (Editor), Kepustakaan Populer Gramedia, 2016 (cetakan ketiga)

perjalanan dan ketidakterdugaan

Ketidakterdugaan. Perjalanan liburan lebaran kemarin membawa kami dalam sejumlah ketidakterdugaan. Justru ketika menggunakan teknologi untuk menghalau spekulasi.

Menjelang tengah malam, mungkin di sekitar Kebumen, aplikasi waze mengarahkan untuk mengambil jalanan kampung. Memisahkan diri dari jalan raya.

Arus balik lebaran menyebabkan laju lalu-lintas tersendat. Pun di arah sebaliknya. Kami berangkat dari Pangandaran menuju Jogja.

Roda-roda lalu menggilas aspal kasar. Saat itu giliran istri saya, Raya, yang mengemudi. Saya jadi navigator.

Rumah-rumah pedesaan Jawa terlihat di kiri dan kanan. Lampu-lampu menyala. Hanya sedikit warga yang terlihat. Sisanya boleh jadi telah mengarungi langit mimpi — seperti juga dua bocah di kursi belakang.

Di satu titik, jalanan ternyata sedikit menanjak. Di ujung, terbentang rel kereta api.  Gelap merundung karena hanya persawahan mengurung. Tiba-tiba, persis di rel, kendaraan terhenti. Tak bergerak meski pedal gas telah diinjak. Ada apa ini?

Saya memutuskan turun, mencari tahu. Oh, ternyata ada batu lumayan besar, mengadang laju ban kanan depan. Saya pun meminta Raya untuk memundurkan mobil dan menggeser stir ke kiri.

Wuuss…kami pun lepas dari ketegangan sesaat. Sempat mampir pikiran bagaimana kiranya jika saat itu ada kereta melintas.

***

Aplikasi seperti waze ini mungkin seperti kompas pada beberapa abad silam. Kompas membuat manusia berani menjelajahi belahan dunia lain, tak perlu lagi cemas bagaimana cara kembali ke rumah. Ketidakpastian dilawan dengan teknologi.

Konon, bersama mesin cetak dan mesiu, kompas menjadi bekal penting era renaissance, pintu gerbang abad modern yang membebaskan manusia (baca: manusia Eropa) dari kungkungan otoritas lama.

Jika tak ada kompas, susah membayangkan Christopher Columbus bisa meyakinkan raja Spanyol untuk membiayai perjalanannya. Maka berlayarlah Nina, Pinta, dan Santa Maria pada Agustus 1492.

***

Ketidakterdugaan berikut hadir saat ingin ke Candi Prambanan. Titik berangkat adalah kawasan Mangunan, Bantul. Di waze sudah diketik: Prambanan.  Let’s go

Kami diarahkan ke jalan Jogja-Solo. Ya, masuk akal. Tapi kemudian diminta keluar dari jalan raya, masuk ke pedesaan. Ah, siapa tahu ini rute tercepat.

Panorama indah memanjakan mata. Petang telah datang.

Kok jalanan makin kecil. Kalau dua mobil berpapasan, ngepas banget. Mulai tumbuh ragu. Di sebuah pertigaan, keraguan mengeras. Kepada seorang warga, kami pun bertanya, “Nuwun sewu, Mas. Ini jalan menuju Candi Prambanan?’

“Oh bukan, tidak lewat sini,” kata pemuda itu sambil tersenyum.

Matahari sudah redup. Kami bertanya-tanya apa yang salah. Usut punya usut, kami hanya memasukkan “Prambanan” di waze. Padahal seharusnya “Candi Prambanan.”

Prambanan merupakan juga nama kecamatan. Bahkan ada dua kecamatan yang menggunakan nama tersebut. Satu di Sleman, satu di Klaten. Keduanya bersisian. Candi Prambanan ada di Klaten.

Lakukan perjalanan. Maka, kita bakal kian yakin bahwa hidup adalah himpunan ketidakterdugaan meski telah dibantu teknologi.

 

 

 

 

empat kepingan perjalanan

/1./

WILLIAM VAN MAJALENGKA

Keluar dari Tol Cipali via Pintu Kertajati, kami segera menjumpai tanah yang elok ini: Majalengka.

Inilah kampung halaman beberapa teman saya…dan William Soeryadjaya, pendiri Astra Grup. William lahir sebagai Tjia Kian Liong pada 20 Desember 1922.

Kian Liong adalah anak kedua Tjia Tjoe Bie, seorang pengusaha otobus dan pedagang hasil bumi. Rumah mereka mungkin yang terbagus di Majalengka. Di kampungnya, hanya mereka yang memiliki generator listrik.

Pada masa kolonial, Majalengka menjadi tetirah banyak orang Belanda. Dikelilingi gunung, udaranya sejuk. Sampai dikenal sebagai “Kota Angin.”

Majalengka dilalui sejumlah sungai. Salah satunya Cimanuk. Di sungai berarus deras ini, William gemar bermain.

Kelak William juga dikenal gemar memberi ke orang kecil. Saku celananya selalu penuh uang. Kalau makan di restoran, juru parkir, pramusaji, dan petugas kebersihan rutin menerima tip darinya.

“Kalau Oom memberi, nilai nominalnya lebih besar daripada yang orang biasa kasih,” kata Ire, sekretaris pribadi William, dalam Man of Honor: Kehidupan, Semangat, dan Kearifan William Soeryadjaya.

Dalam satu hari, kata Ire, disediakan Rp 1 juta untuk tip. Pada 1970-an, itu jumlah yang amat besar.

Dalam perjalanan pulang, kami melintas kembali di Tol Cipali. Di KM 161, di atas Sungai Cimanuk, bertengger sebuah jembatan. Namanya: Jembatan William Soeryadjaya.

 

/2./

PRAWIROTAMAN

Tiba saat azan subuh berkumandang. Perjalanan menempuh malam dari Pangandaran berakhir.

Prawirotaman menjadi tempat kami menginap di Jogja. Ini kawasan turis asing. Di sepanjang sisi Prawirotaman, banyak kafe atau restoran yang menyediakan western food.

Jl Parangtritis dan Jl Sisingamangaraja mengapit. Jika menyeberangi Jl Parangtritis, kita akan berjumpa Jl Tirtodipuran, tempat aktor Butet Kartaredjasa membuka rumah makan, Warung Bu Ageng. Pada kunjungan 2014, kami sempat menyambanginya.

Menjelang Jl Sisingamangaraja, hadir kedai gelato yang terlihat selalu ramai. Saking ramainya, mereka harus menyewa lahan parkir khusus di seberang. Bisa menampung 9-10 mobil.

Kami pun masuk. Ya, banyak selebritas yang pernah ke sana. Terpampang foto-foto mereka lagi menikmati gelato. Termasuk mantan Presiden AS Barack Obama.

(By the way, gelato ternyata beda dengan es krim. Penjelasannya ada di sini. Saya juga baru tahu saat menulis catatan ini.)

Kalau ngehits, pasti jadi sasaran untuk selfie. Tempatnya memang lumayan instagramable. Nama kedai itu: Tempo Gelato. Soal rasa? Sila coba sendiri.

 

/3./

KLEWER DAN ARSWENDO

“Sekarang kios-kiosnya lebih kecil,” kata mbak penjual batik di Pasar Klewer, Solo. Selasar lebih sempit. Tapi pedagang yang bisa ditampung jadi lebih banyak.

Pasar itu direnovasi setelah kebakaran pada akhir 2014. Kabarnya, inilah pusat penjualan batik terbesar di Indonesia — bahkan mungkin di Asia Tenggara. Komplet. Dari harga Rp 100 ribu sampai Rp 5 juta per lembar.

Perihal  Pasar Klewer, yang tercetak di benak adalah penggambaran dalam novel keren Arswendo Atmowiloto, Canting.

Sang tokoh, Bu Bei, adalah seorang pedagang batik di pasar tersebut. Di sana, Bu Bei menemukan dunia lain, dunia berbeda dengan rumah di balik tembok keraton.

“…peran yang disediakan Pasar Klewer sedemikian besar, sehingga Bu Bei yang memijati kaki suaminya dengan tabah, setia, bekti, penuh kasih sayang, dan juga ketakutan, adalah juga Bu Bei yang galak dan bisa memaki polisi, yang bisa bercanda, mencolek dan dicolek, dan dengan keberanian memutuskan masalah-masalah yang sulit. Mengambil keputusan sampai dengan ratusan ribu rupiah dalam satu tarikan napas,” tulis Arswendo.

Pasar adalah kantor buat perempuan. Adalah karya. Adalah karier. Ya, paling tidak dalam dunia Bu Bei, anak buruh batik yang “naik kelas” ke lingkungan priyayi Solo pada 1940-an ketika Revolusi Kemerdekaan meletus.

 

/4./

LUMPIA (KONON) JUARA

Pasti bisa jika mau. Tapi mereka bertahan di ruangan yang kira-kira hanya 15 meter persegi itu.

Hadir di kawasan Pecinan, di depan sebatang sungai. Tak membuka cabang di tempat lain.

“Buka jam 8 pagi, tutup jam 5 sore. Kalau sebelum jam 5 habis, ya tutup,” kata seorang pekerja di sana.

Panas menyergap jangat. Toh para pembeli ramai. Itu pun tak bisa langsung memperoleh, mesti menunggu 30-40 menit seperti kami.

Harga satuan Rp 15 ribu. Pagi harinya, di kedai soto Pak Man, saya mengganyang lumpia seharga Rp 5 ribu.

Ah, mungkin tak bisa dibandingkan memang. Ada harga, ada rasa. Juga elemen kemasyhuran yang membuat penjual “rileks” memasang banderol.

Sudah lebih 100 tahun, bisnis ini berjalan. Konon masih yang paling laris di Semarang. Internet berjasa menggetoktularkan cerita mereka hingga hari ini.

 

hari tua pak jo

Mekanik bilang perawatan mobil butuh sekitar dua jam. Oke, saatnya cari sarapan meski terbilang telat. Menuju lantai dua Pasar Segar Cinere, ke lapak yang menyajikan nasi uduk, lontong sayur, dll.

Saya mengambil kursi plastik. Di sebelah, seorang ibu berkacamata menyantap nasi uduk.

Percakapan dua ibu pun lalu terdengar. Keduanya, saya taksir, sudah di atas 50 tahun. Agaknya telah saling mengenal lama.

“Pak Jo sakit,” kata ibu pembeli di sebelah.

“Iya lama gak ke sini. Kasihan sendirian,” balas ibu penjual di depan.

“Nanti sore anak perempuannya datang. Anak lelakinya jauh, di seberang,” ujar ibu pembeli sebelum melahap gorengan.

Saya teringat maraknya fenomena kodokushi di Jepang sejak beberapa tahun belakangan. Kodokushi merupakan istilah buat para orang tua yang hidup sendiri lalu meninggal dunia tanpa diketahui. Mungkin mereka punya anak tapi tinggal terpisah dan berjauhan.

Barangkali juga mereka memang melajang. Tumbuh tren sejak puluhan tahun lalu bahwa ada cukup banyak warga yang memilih tidak menikah. Biasanya punya teman kencan, tapi ya temporer. Lalu, memasuki usia 60 tahun, kebanyakan mereka mulai hidup sendiri.

pasar segar

Kematian baru terendus beberapa hari kemudian setelah “aroma” meruap ke hidung tetangga atau ada yang berkunjung dan tak ada jawaban saat pintu diketuk.

Di Jepang, lebih dari seperempat warga berusia di atas 65 tahun. Tak ada statistik resmi terkait kodokushi, namun diyakini sekitar 30.000 orang meninggal dunia dalam kesendirian per tahun.

Banyaknya kodokushi memicu profesi baru: mereka yang bertugas membawa jenazah, membersihkan kamar mendiang, dan mengamankan benda-benda peninggalan.

Para orang tua yang kesepian bukan khas Jepang. Di Inggris, fenomena ini sudah dianggap mengganggu. Karena itu, Januari 2018,  PM Theresa May menunjuk seorang pejabat setingkat menteri untuk menanganinya. Menteri Olahraga dan Masyarakat Sipil, Tracey Crouch, ditunjuk memimpin kementerian baru itu.

Di Inggris, diperkirakan 9 juta orang hidup dihantui kesepian. Ada yang selama beberapa pekan tak mengalami interaksi sosial. “Kesepian itu realitas menyedihkan di kehidupan modern,” ujar May.

Sambil menikmati lontong sayur, saya lanjut menguping.

“Ini apa?” kata ibu pembeli.

“Nah itu kue kesukaan Pak Jo, kue sus.”

“Minta lima deh. Buat Pak Jo dan anaknya. Pastel minta delapan.”

Saya tak tahu apa hubungan ibu pembeli dengan Pak Jo. Kemungkinan sih tetangganya.

Pak Jo dan hari tua yang sunyi…

 

gurauan yang menyelamatkan

Sebanyak 22 grup WA ada di telepon genggam. Terlalu banyak. Kelewat bising.

Saya ingin mengurangi 5 atau 6 di antaranya. Susah ternyata lantaran aneka alasan. Misalnya, terkait urusan pekerjaan. Bisa panjang urusan jika hengkang dari sana.

Atau, terkait informasi yang terkandung di dalamnya. Ada grup yang lalu lintas pesannya melulu kenyinyiran pada pihak yang berseberangan secara politik. Jengah juga. Namun keinginan pergi sirna saat mafhum: sering informasi penting atau gosip politik terpampang di sana — relevan dengan pekerjaan.

Ada juga grup yang berisi para orangtua murid plus wali kelas. Anak sulung saya belajar di sekolah negeri. Dengan begitu, penghuni beragam. Tak cuma Islam. Tapi tetap saja ada seorang orangtua yang kerap melempar postingan bernuansa dakwah. Kok kebelet banget memburu pahala?! Tapi susah juga jika pergi dari sana.

Alhamdulillah, saya juga tergabung di sebuah grup yang ajaib. Penghuninya teman-teman kuliah seangkatan dan sejurusan.

Di sana, kami absen bicara soal politik atau akhirat. Tak pernah, misalnya, menyentuh urusan Pilkada DKI Jakarta atau celoteh tak bermutu seseorang yang mengajak menjauhi Pak Quraish Shihab.

Hanya ada canda. Terutama terkait kegagalan ikhtiar asmara di masa muda. Untuk urusan ini, tak ada simpati atau empati. Bully berjaya! Tentu dengan canda sebagai kemasan. Tak ada niat untuk melukai hati.

Gilanya, ada mantan satu gebetan teman kami yang di-invite ke grup itu. Meski kaget pada hari-hari pertama, cewek itu (yang kini telah memiliki dua anak dan menjadi petinggi di sebuah media) juga akhirnya ikut “gila” dan tetap di sana sampai detik ini.

Beberapa hari lalu, ada kegilaan lain yang meletus. Salah seorang admin meng-invite seseorang. Salah seorang kami konon dulu pernah dekat dengan sang anggota baru. Sejak beberapa bulan lalu dia sering dicandai soal perempuan yang kini tinggal di luar Jawa tersebut.

Grup langsung hiruk-pikuk dengan keberadaan anggota baru tersebut. Saya sendiri agak menahan diri, takut perempuan itu tak nyaman dengan “kebrutalan” kami. Bagaimana pun juga dia orang luar.

Sampai beberapa saat kemudian, admin yang men-invite itu menelepon. Inti percakapan membikin hati tenang sekaligus membuat perut saya sakit menahan tawa.

“Itu bukan dia. Itu nomor gua yang lain. Terus gua kasih nama cewek itu,” ujar si teman. Dia hanya membocorkan hal ini kepada tiga teman lain. Hanya sehari perempuan itu hadir. Syukurlah.

Grup itu “menyelamatkan,” mengerek turun dosis ketegangan saat melakoni rutinitas. Meski sesekali khawatir juga kalau-kalau telah melampaui batas.

Di grup WA, politik dan tausyiah kerap menjengkelkan. Bilas saja dengan humor dan canda. Niscaya hidup lebih rileks dan tak gampang naik pitam.

tanah merah

Sejak kepergian Leo Kristi, saya mendengarkan ulang lagu dan menyimak lagi lirik-liriknya. Termasuk lagu yang mendedahkan pembuangan para tokoh politik di Digul: Tanah Merah In Memoriam.

Aku terpisah di belah bumi tertepi
Secarik kabar darimu akan sangat berarti

Di sana nestapa merundung para penghuni. “…sudah terang orang menderita di dalam batin. Wajah-wajah yang lesu, mata yang liar dan kadang-kadang seperti tak normal itu, dikelilingi lingkaran hitam dan dalam, menunjukkan hal itu,” tulis Sutan Sjahrir pada 11 Mei 1935 dalam surat untuk kekasihnya, Maria Duchateau, di Belanda.

Sjahrir, bersama Mohammad Hatta, tiba di Digul pada 21 Februari 1935. Aktivitas mereka bersama PNI Baru dianggap membahayakan. Tanpa proses pengadilan, mereka diberangkatkan ke Digul.

Tanah Merah terletak di hulu Sungai Digul — timur laut Merauke. Karena itu disebut juga Boven Digoel atau Digul Atas. Rezim Hindia Belanda membuka kamp itu pada Januari 1927 untuk menahan para aktivis komunis yang dianggap memberontak. Sjahrir dan Hatta bukan kader komunis tapi mungkin dosis bahaya mereka diyakini setara.

Hanya ada sedikit kontak dengan dunia luar. Itu melalui kapal Albatros yang singgah sebulan sekali, dengan membawa surat-surat yang telah disensor. Juga bacaan-bacaan terpilih.

Di sini hanya satu bangku tidur yang dingin
Namun selalu saja ada dengung ratusan nyamuk seakan pekik semangat rakyatku

Rezim kolonial tak menamakannya “kamp tahanan,” melainkan koloni pengasingan. Tak ada menara jaga dan lampu sorot di ketinggian. Dalam surat kepada bawahannya, Gubernur Jenderal Andries Cornelies Dirk de Graeff menulis, tempat itu mestinya menjadi “lokasi ambisi-ambisi politik digantikan minat pada hal-hal yang sifatnya lebih domestik dan sosial.”

Tempat itu dikepung rimba nan lebat. Amat jauh dari peradaban modern. Makin mencekam karena kehadiran nyamuk malaria yang ganas. Andai hendak kabur, pilihan terbaik adalah Kepulauan Thursday, Australia. Untuk itu, orang mesti menempuh hampir 500 kilometer sepanjang Sungai Digul yang penuh buaya buas, lalu menyeberangi Selat Torres. Setiba di Australia, harus siap kucing-kucingan dengan polisi setempat. Jika tertangkap, ya dipulangkan ke Digul.

 Berdentang-dentang merasuk hati
Aku tak kan pernah mati
Tuhan, tanahku yang hitam ini milikmu jua

Padamu tanahku
Padamu airku
Padamu darahku
Padamu putraku

Namun, dalam deskripsi sejarawan Rudolf Mrazek, “…ini bukan kesepian mutlak ala Heart of Darkness-nya Conrad — ‘kesepian, kesepian mutlak tanpa seorang polisi…kesunyian, kesunyian mutlak tanpa ada hangat suara tetangga yang baik…'”

Ya, para tahanan memang bebas bergerak dalam radius tertentu. Bergaul dengan sesama. Juga diizinkan menulis surat seperti Sjahrir atau mengirim artikel surat kabar seperti Hatta. Bahkan hadir semacam bioskop di sana. Sesekali, catat Mrazek, ada pula konser musik dan pertunjukan wayang.

Pada akhirnya, kebosanan dan ketidakpastian hari esok menjadi jalan mudah menuju remuk jiwa.

Saya tidak tahu apakah Leo pernah ke Digul. Meresapi lirik yang intens merefleksikan tanah pengasingan itu, saya yakin Leo “menggauli” tema itu dengan saksama, entah bagaimana caranya.

Pada karya Leo, sang aktivis — “Aku” dalam lagu itu — dibekap nasib buruk tapi tak mau takluk.