“shangri-la” bernama curug mariuk

Aliran deras air menghantam kolam di bawah, menyerempet dinding batu dan melahirkan bebunyian yang ritmis.

Kolamnya jernih, kehijauan, dan dingin menyegarkan. Sangat menggoda untuk diarungi.

Kami datang saat cuaca cerah di musim pancaroba. Angin sejuk menjinakkan rajam matahari. Ya, ini semacam “Shangri-La” yang hanya  60-an kilometer dari Jakarta.

***

Curug Mariuk terletak di kawasan Jonggol, Kabupaten Bogor. Saya mengetahui keberadaannya dari postingan teman di Instagram, beberapa pekan sebelumnya. Foto-foto nan membujuk.

Informasi ini segera saya jalarkan ke Havel dan Kafka. Mereka setuju untuk ke sana setelah mengetahui lintasan perjalanan yang bukan kaleng-kaleng dan curug yang elok.

Pandemi bikin tak leluasa keluar rumah. Padahal perlu juga sesekali pergi untuk menghalau jenuh. Nah, kalau masuk hutan mestinya aman. Apalagi  track yang menanti terbilang ekstrem. Dalam bayangan kami, tak akan banyak orang memilih ke sana.

Pertama kali saya mengajak Havel ke curug saat dia masih tujuh tahun. Kami berdua saja, menyambangi Curug Cilember di kawasan Puncak. Ini curug yang sangat mudah diakses. Dari parkiran mobil, hanya harus menempuh sekitar 50 meter.

Selanjutnya kami, lebih kerap berempat, mendatangi Curug Cigamea, Cibeureum, Sawer, dan sejumlah curug lain.

Saya sendiri mendatangi curug pertama kali saat SMA. Lupa nama curug itu, yang pasti di Ciapus, kaki Gunung Salak. Kami latihan olah vokal di sana, bersaing dengan gerojok air.

***

Minggu pagi, 27 September. Kami berangkat pukul 05.30.  Raya ternyata memutuskan ikut. “Aku mengawal Kafka,” kata dia. Kami tertawa mendengarnya.

Menempuh rute dari Cinere, kami masuk tol Jagorawi, lalu keluar di pintu Citeureup. Dari sana, kendaraan diarahkan menuju Kecamatan Sukamakmur — searah dengan Gunung Batu yang kami daki beberapa pekan sebelumnya.

Pada satu titik,  Google Maps memerintahkan belok kiri. Jalan mengecil. Hanya cukup untuk satu mobil. Jika berpapasan dengan sepeda motor, mohon maaf, yang bersangkutan harus menyisih ketimbang tersenggol.

Jalan terbuat dari, kebanyakan, semen. Di beberapa ruas telah terkelupas. Jelas bukan medan yang bersahabat dengan sedan. Beberapa rumah warga mengapit di kiri dan kanan. Tapi lebih banyak sawah dan kebun.

Hal yang membuat jantung berdegup lebih kencang adalah tanjakan-tanjakan terjal. Mungkin ada yang mendekati 60 derajat. Gigi L mesti digunakan beberapa kali ketimbang mobil tak sanggup melaju. Saya bersyukur karena tidak mengiyakan permintaan Havel untuk mengemudi dua jam sebelumnya.

Hingga tibalah kami di titik yang galib disebut gerbang curug. “Mobil bisa masuk ke dalam, Kang?” tanya saya ke seorang pria.

“Bisa aja, Pak. Cuma jalannya tidak bagus, berbatu-batu, naik-turun. Kecil juga,” kata pria itu. Ia bersama sejumlah teman. Sebuah warung kecil terselip di bagian lain dari gerbang, perlu sedikit menanjak untuk mencapainya.

Cukup sudah momen degdegan lantaran jalan sempit dan banyak tanjakan curam. Kami putuskan mulai hiking sejak gerbang.

Eitss, tunggu dulu. Ada urusan bayar-membayar. Biaya parkir Rp 20 ribu. Per orang kena Rp 20 ribu. Total Rp 100 ribu. Karcis atau tanda bukti lain? Nihil.

***

Hiking pun dimulai. Jalan tanah berbatu. Cukup untuk satu mobil. Naik-turun konturnya, memaksa betis dan lutut bekerja keras. Beberapa kali kami berhenti untuk meredakan lelah.

Pada kiri jalan terlihat perkebunan singkong, entah milik  siapa. Lalu perbukitan batu di atasnya. Di kanan jalan, hadir jurang yang ditutupi pepohonan, lembah, dan perbukitan lain nun di sana. Panorama yang memanjakan mata.

Sekitar 25 menit mengayun langkah, kami bertemu area mendatar di sebelah kiri. Di area tersebut terparkir empat mobil. “Oh, kalau tadi kita bawa, mobil parkir di sini,” kata Raya.

Lalu jalan menurun dan mengalir sungai kecil. Empat batang beton dibentangkan sebagai jembatan. Wah, iya, mobil pasti tak bisa melewati. Mentok di area tadi.

Sekitar 10 menit dari jembatan tersebut, kami sampai di tempat parkir sepeda motor.  Terdapat sebuah warung dan kami singgah untuk rehat.

Sambil menyantap tempe goreng, saya membatin: ini kok beda? Tidak ada menara pandang  di sisi kanan jalan. Saya sudah menonton beberapa video di YouTube yang memperlihatkan kondisi area parkir.

Teteh pengelola warung memungkasi rasa penasaran, “Tempat parkir baru dipindah ke sini. Tadinya di tempat mobil-mobil itu. Menara untuk lihat pemandangan gak dibangun lagi di sini.”

Lepas dari lokasi parkir itu, lansekap alam semakin menawan. Perbukitan hijau sepanjang mata memandang. Cakep banget

Pada saat bersamaan, betis dan lutut terus bekerja keras. Nafas memburu, peluh mengucur. Kontur tetap naik dan turun. Bebatuan semakin jarang di jalan. Terbayang licin dan berlumpurnya jika habis hujan.

Tak jauh dari perkiraan: kami hanya sesekali bertemu manusia lain di sepanjang perjalanan. Aman di masa pandemi, jauh dari kerumunan.

***

Setelah hampir dua jam berjalan, curug terhampar di hadapan. Sekitar 5-7 orang sudah nyemplung di kolamnya. Havel dan Kafka segera melepas kaos.

Tinggi curug hanya sekitar empat meter. Luas kolam tak lebih dari 40 meter persegi. Kedalamannya konon empat meter.

Saya menatap dua anak yang girang itu, sesekali mengambil foto dan video dengan telepon genggam. Ada dua muda-mudi, kayaknya sepasang kekasih, bermain air di sudut lain dari curug.

Sambil menghirup oksigen yang berlimpah, saya kian yakin: semua orang berhak bahagia dengan cara masing-masing, berhak mengejar “Shangri-La” versi diri sendiri.

 

cari tempat

“Cari tempat yang membuat kita bisa kelihatan beda,” kata seorang kawan, lalu mengisap rokok dalam-dalam. Berkaca mata, kemeja biru muda, dan helai-helai perak di kepala.

Nama dia? Sebut saja K. Ia sedang berefleksi tentang pekerjaannya. Kami lebih dari lima tahun tak berjumpa.

Kemarin kami menghabiskan sore di Kuningan, Jakarta, di kawasan yang dibangun sebuah konglomerasi. Sore yang sejuk. Beberapa pelari terlihat di trotoar yang lebar.

K selalu bersemangat saat bicara. Cocok untuk bekal menjadi pengacara. Sejak 2013, ia berkonsentrasi menjadi kurator kepailitan.

Dulu, menjelang lulus, saya main ke kampus pusat di Dipati Ukur untuk menemui K di Fakultas Hukum. Ternyata lagi ada demo menentang keputusan rektorat menggusur PKL dari lingkungan kampus. Saya bertegur sapa dengan adik-adik kelas yang jadi korlap dan peserta aksi. Lalu pamit dan kembali ke rencana untuk bertemu K.

Sambil jalan di koridor kampus, K bilang, “Eh cari anak-anak yang lagi demo yuk.”

Cari punya cari, pihak rektorat ternyata bersedia menemui perwakilan teman-teman di sebuah ruangan. Kami buka pintu dan teman-teman di dalam berseru, “Ayo masuk, Kang, rektorat belum datang kok.”

Baru saja bergabung, dekan fakultas kami tiba. Agaknya Pak Dekan dilapori jajaran rektorat, bahwa banyak anak asuhnya hadir dalam demo.  Maka dia pun datang.

Ia langsung melihat ke saya. “Wah euy, nanaonan di dieu?” kata pria yang gemar bersafari itu.

Beberapa bulan terakhir saya dan beberapa teman memang  “cari perkara” dengan dekanat: menyoal tindak plagiasi seorang dosen. Sang dosen akhirnya diskors satu semester. Tapi entah kenapa Pak Dekan terlihat tak suka dengan saya.

Di ruangan itu saya terlihat beda, padahal tidak ngapa-ngapain.

Sepekan kemudian, sepucuk surat tiba ke rumah orang tua dari Jatinangor. Surat peringatan dekan. Ibu langsung panik. Gara-gara si K…haha…

Catatan: foto hanya ilustrasi. K juga suka ngopi. Tapi kemarin dia minum yang lain.

bung karno dan polemik

Alkisah pada September 1980 – Maret 1981 meletus polemik tentang Bung Karno. Belum ada media sosial saat itu, gelanggangnya adalah koran dan majalah.

Rosihan Anwar yang memicu dengan mengungkap ulang, dalam artikelnya di koran KOMPAS, bahwa ada surat-surat Bung Karno yang meminta ampun pada Jaksa Agung Hindia Belanda pada 1933. Konon surat dilayangkan saat Bung Karno mendekam di penjara Sukamiskin, Bandung.

Mengungkap ulang? Ya, Rosihan sebenarnya hanya mengutip temuan John Ingleson yang dituangkan dalam buku Road to Exile: The Indonesian Nationalist Movement 1927-1934. Melihat rekam jejak Ingleson, ia bukan pembual di warung kopi. Ia punya kredensial sebagai peneliti dan akademisi sejarah .

Sejumlah pihak pun unjuk tanggapan atas hal tersebut. Di antaranya Mohamad Roem, Sitor Situmorang, Mahbub Djunaidi, Taufik Abdullah, Onghokham dll. Banyak di antara mereka yang meragukan otentisitas surat-surat itu. Sangat mungkin rezim kolonial mengkreasinya untuk merontokkan kredibilitas Bung Karno, kata mereka.

“Sepanjang pengetahuan saya, tidak ada berita di surat kabar pada waktu itu mengenai surat-surat Bung Karno itu. Tetapi adalah aneh sekali mengapa pemerintah Belanda pada waktu itu begitu bodoh untuk tidak mengumumkan surat-surat Bung Karno tersebut kalau memang ada,” kata sejarawan Onghokham kepada koran Merdeka.

Di luar itu semua, buku 50 halaman ini penting karena memuat (mungkin) semua tulisan yang terlibat polemik. Ada sejumlah esai, juga reportase.

trisno ke langit

Saya telah terkesan sejak hari-hari pertama di kampus. Gaya bicaranya meyakinkan meski dengan cengkok Pantura yang terkadang hadir ke permukaan. Pikirannya tajam. Kami diikat satu hal: Orde Baru harus dilawan.

Ketika angkatan kami melanjutkan penerbitan majalah kampus, saya tak ragu untuk menjadi makmum dan ia adalah pemimpin redaksinya.

Banyak malam dilalui bersama teman-teman lain. Juga di kamar kosnya, di lantai dua sebuah rumah, di pelosok Sekeloa, Bandung. Diiringi buku-buku, jurnal Prisma, asap rokok, dan botol “air kata-kata.” Pun obrolan soal para perempuan yang jadi idaman.

Tak selalu kami sehaluan. Pernah satu malam kami berdebat sengit soal pers dan keberpihakan. Juga perihal Tuhan dan kehendak bebas manusia. Namanya anak muda, kami punya kemewahan untuk bicara setinggi bintang.

Cara melawan rezim pun jadi pangkal pertengkaran. Terkait dengan itu, apa yang jadi target pokok: ganti sosok atau ubah sistem.

Setelah mengenalnya lebih dalam, saya menduga, ia bakal menjadi aktivis, menjadi jurnalis pasti bukan cita-cita utama. Keprihatinan pada nasib rakyat kecil tertanam kuat di kepalanya.

Pada akhir masa kuliah, kami jarang bertemu. Saya berjuang menyelesaikan skripsi, ia larut dalam aktivisme – bahkan memilih tak mendapatkan ijazah dari kampus.

Media sosial mempertemukan kami kembali dalam beberapa tahun terakhir. Tapi tak ada lagi percakapan soal “bintang gemintang” di langit sana. Kami hanya bergurau, merisak satu sama lain dengan kisah asmara di masa silam sebagai amunisi.

Hari ini, Trisno W Demah menuju ke langit.

kemeja gulana



Ia termenung di sudut. Perlahan mulai bisa merumuskan gemuruh di dada: begini toh rasanya terlunta-lunta.

Berpekan-pekan ia terpeluk erat dengan gantungan, tak melindungi dan menghadirkan nyaman untuk sang tuan. Nirguna, kata para bocah yang menggilai bahasa.

Jejak pewangi yang dilekatkan ke tubuhnya pudar seinci demi seinci, digempur aroma kayu almari.

Murung dan gulana. Ia pun teringat sebilah gunting di laci nakas, membayangkan besi tajam itu mengoyak…

arief budiman, pergi dengan penghormatan

Dia menatap jenazah adik kandungnya, terbungkus dalam plastik transparan dengan kedua ujung diikat tali.

Saat itu tengah malam di rumah seorang kepala desa di kaki Gunung Semeru, Jawa Timur. Pria itu, terlahir sebagai Soe Hok Djin dan lebih dikenal sebagai Arief Budiman, membatin, “Tentu sepi dan dingin terbungkus dalam plastik itu.”

Sang adik, Soe Hok Gie, meninggal dunia beberapa hari sebelumnya, tercekik asap beracun puncak Semeru. Arief menuliskan kenangan tersebut dalam kata pengantar Catatan Seorang Demonstran.

Siang tadi, Arief menyusul  sang adik, hampir 50 tahun kemudian. Linimasa lantas riuh rendah dengan penghormatan untuknya.

 

2.

Perjalanan hidup Arief memang layak menuai pujian. Ia banyak menulis di media massa, mengkritisi penguasa yang korup bin zalim. Juga turun ke jalan. Pada 1971, ia sempat dibui karena memprotes pembangunan Taman Mini Indonesia Indah.

Ia pula yang terdepan menggelindingkan ide “Golongan Putih” atau Golput — gerakan menolak menggunakan hak suara dalam Pemilu 1971.  Arief menggagasnya karena menganggap Orde Baru membonsai demokrasi dengan  membatasi partai yang ikut pemilu. Sampai hari ini, istilah Golput abadi.

Sejumlah buku ditulisnya. Termasuk yang berasal dari disertasinya di Universitas Harvard, Amerika Serikat. Judul buku itu gagah: Jalan Demokratis ke Sosialisme – Pengalaman Chili di Bawah Allende.

Sepulang dari Harvard pada 1981, Arief menjadi juru kampanye utama untuk pendekatan struktural dalam ilmu sosial di Indonesia – pendekatan yang banyak diadvokasi cendekiawan neo-marxis seperti Paul Baran atau Andre Gunder Frank.  Ia dengan lugas mengkritik pendekatan psikologis/kebudayaan yang ketika itu mendominasi.

Pendek cerita, pendekatan psikologis/kebudayaan percaya bahwa akar masalah sosial adalah mentalitas. Perihal kemiskinan, misalnya, terjadi karena kemalasan atau etos kerja yang payah. Di seberangnya, pendekatan struktural meyakini bahwa  seseorang atau sekelompok orang rudin lantaran ada sistem yang melanggengkan ketimpangan sosial-ekonomi.

Arief percaya pada sosialisme. “Hidup di negara kapitalis membuat saya kasihan melihat kaum miskin yang tertindas. Parah sekali jadi orang miskin di Amerika,” katanya kepada MATRA, April 1994.

Lalu, ia bertengkar dengan pihak rektorat Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) yang dianggap melanggar aturan main. Arief pun dipecat dan beberapa tahun kemudian pindah mengajar ke Universitas Melbourne, Australia.

 

3.

Terutama pada masa mudanya, Arief juga banyak bergerak di ranah kesenian. Ia rutin menulis kritik sastra. Bersama Goenawan Mohamad, ia adalah penandatangan Manifes Kebudayaan termuda – baru 22 tahun. Mereka ketika itu sama-sama mahasiswa Psikologi UI.

Arief juga gemar baca filsafat. Goenawan mengaku kagum dengan Arief yang menguasai bagian-bagian yang sulit dari Being and Nothingness  versi Inggris karya Sartre.

Goenawan pernah menulis, dunia pergaulan Hok Gie dan Arief berbeda. Gie akrab dengan aktivis politik, terutama dari Gerakan Mahasiswa Sosialis (GMS) dan Partai Sosialis Indonesia (PSI). “Sementara Arief lebih banyak bergaul dengan perupa seperti Nashar, Zaini, Oesman Effendi, dan Trisno Sumardjo, dan kemudian dengan saya, Rendra, dan penulis lain,” tulis Goenawan dalam esai Arief Budiman: Yang Akrab dengan Yang Murni.

Sewaktu SMP, Arief pernah belajar melukis pada sejumlah perupa di Balai Budaya, Menteng.  Namun ia merasa paling dekat dengan Nashar, sosok yang digambarkannya dengan “bajunya selalu kusam, sepatunya (kalau dia pakai sepatu) tidak pernah makan semir.” Arief mengaku, dengan Nashar, jarak dan tembok antara murid dangan guru tidak ada.

Setelah Orde Lama tumbang, Arief ikut mendirikan majalah sastra Horison,  bahkan menjadi inisiatornya. Jadi, suatu hari di 1966, Arief mengunjungi jurnalis dan sastrawan Mochtar Lubis yang masih menjadi tahanan politik Orde Lama. Mereka ngobrol soal suasana kesusastraan yang pengap oleh tekanan rezim. Mochtar berjanji, jika keluar penjara nanti, dia akan mendirikan majalah sastra.

Orde Baru membebaskan Mochtar. Tak lama kemudian, dia mendatangi sejumlah teman pengusahanya.  Dana penerbitan pun tercukupi. Nama yang disepakati adalah Horison. Terbit pertama kali pada Juli 1966. Selain Mochtar dan Arief, ada HB Jassin, DS Moeljanto, Zaini, dan Taufiq Ismail di Dewan Redaksi Horison.

 

4.

Publik akan terus mengingat Arief sebagai pejuang demokrasi dan cendekiawan teladan, bakal mengenang ayah dua anak ini selaku sosok yang lurus dalam sikap dan perbuatan.

Ia (mungkin) akan berjumpa lagi dengan Hok Gie dan bisa kembali ngomong, “Gie, kamu tidak sendirian” – seperti saat menutup kata pengantar  yang menggetarkan itu.

 

 

ae priyono dan masa muda

Kakak kelas di kampus, Zaenal Bhakti, “memprovokasi” untuk menyimak kumpulan tulisan Dr Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. Ini cerita pada awal 90-an, masa yang juga menjadi latar waktu Dilan dan segala romantikanya.

Sudah lupa apa isi provokasi Bang Zaenal. Yang pasti, saya lalu mengejar angkot menuju Pasar Palasari. Ini bursa buku di Bandung dengan dua nilai plus: diskon 20-30% + sampul plastik. Buku hampir 400 halaman tersebut pun menghuni kamar kos di Sekeloa.

Editornya, AE Priyono, menulis prolog panjang, menemani kata pengantar dari M Dawam Rahardjo. Prolog itu membantu mahasiswa bodoh kayak saya untuk lebih mudah masuk ke “rumah pemikiran” sang sejarawan yang wafat pada 2005 tersebut.

Kami saat itu menyaksikan sosok Orde Baru yang gigantis dan represif. Uraian-uraian Pak Kunto direguk dengan bersemangat meski tetap agak kerepotan dalam mencerna karena bekal akademis yang ala kadarnya. Berharap memperoleh amunisi tambahan untuk melawan rezim.

Dari mengamati linimasa di media sosial, agaknya Paradigma Islam   memang menjadi bacaan favorit (aktivis) mahasiswa segenerasi. Nezar Patria, misalnya, menulis di akun facebook-nya, “Sebagai mahasiswa filsafat di tahun pertama, saya terkesima dengan buku itu, dan seketika jatuh cinta dengan pemikiran Kuntowijoyo, salah satu sejarahwan yang jujur dan berpikiran tajam. Lewat buku itu Kunto mencoba membuat sketsa pemikiran sosial dari perspektif Islam, dan mencari landasan untuk sebuah metode yang disebutnya sebagai ilmu sosial profetik.”

Petikan prolog dari Mas AE menegaskan hal itu: Kunto mengajukan kritik tehadap metode pemikiran Islam yang masih sangat normatif. “….selama konsep-konsep normatif tidak dijabarkan dalam formulasi-formulasi teoritis, maka Islam hanya akan bertahan di dunia subjektif dan tidak akan dapat ikut campur dalam realitas objektif,” tulis Mas AE.

Pak Kunto terlihat menjanjikan karena, saya ingat ketika itu, dimasukkan dalam rumpun “Sosialisme-Demokrasi Islam” oleh Fachry Ali dan Bachtiar Effendy dalam karya fenomenal mereka, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru. Dalam rumpun itu, juga hadir Dawam Rahardjo dan Adi Sasono, dua tokoh LSM yang moncer.

Rumpun inilah yang paling gamblang mengkritisi Orde Baru dibandingkan sejumlah rumpun lain seperti Neo-Modernisme, Modernisme, atau Internasionalisme, paling kentara keberpihakannya pada kaum mustadhafin.

Minggu siang kemarin kabar duka tiba: Mas AE berpulang. Saya tak pernah berinteraksi langsung dengannya. Dari linimasa yang riuh setelah kabar itu beredar, ada semacam konklusi: Almarhum adalah orang baik dengan kontribusi besar untuk jagat pemikiran dan aktivisme di Indonesia. Ia pergi saat Tanah Air, yang tak pernah lepas dari keprihatinannya, tengah dirundung wabah Corona.

Setelah mendengar kabar duka itu, saya jadi ngeh bahwa kayaknya ada buku lain yang disunting pria  kelahiran Temanggung itu di perpustakaan pribadi. Ngubek-ngubek rak dan tumpukan buku, voila… ada Krisis Ilmu-ilmu Sosial dalam Pembangunan Dunia Ketiga yang disunting bersama rekannya di Universitas Islam Indonesia (UII), Asmar Oemar Saleh.

Antologi ini menghimpun esai Soedjatmoko, Toety Herati, Arief Budiman, Hidajat Nataatmadja, Ignas Kleden, dan sejumlah nama lain. Tahun penerbitan: 1984 — jauh sebelum Paradigma Islam meluncur ke publik. Ketika itu Anang Eko Priyono baru 26 tahun.

Selamat jalan, Mas AE. Semoga lempang jalan menuju Keabadian. Titip salam takzim untuk Pak Kunto. Terima kasih atas “andil” yang mewarnai masa muda saya di Bandung.

melambat

Thomas L. Friedman membuka Thank You For Being Late dengan mengutip ilmuwan Marie Curie: “Nothing in life is to be feared, it is only to be understood. Now is the time to understand more, so that we may fear less.”

Untuk bisa mengerti, kata Friedman, kita perlu melambat. Membaca, mendengar, merenung.

Tapi agaknya cukup banyak dari kita, mungkin termasuk saya, tak cukup punya kesabaran. Akhirnya, gampang berkomentar meski pengetahuan cuma seujung kuku atau jempol super lincah menyebar informasi tanpa filterisasi yang memadai.

Juga pada hari-hari ini. Tengok  media sosial. Banyak orang berlomba ingin mengabarkan hal-ihwal soal Corona. Langsung main forward — mungkin dengan semacam disclaimer setelahnya: “ini bener gak ya?” atau “cuma copas dari sebelah.”

sumber: pixabay.com

Sindrom fear of missing out (FOMO) terlihat nyata. Demokratisasi informasi mencapai titik ekstrem, yaitu terciptanya situasi “the death of expertise.” Berbekal sejumput bacaan di dunia maya, banyak orang langsung merasa pintar tentang sesuatu hal dan memiliki otoritas untuk berbicara.

Bising dan bikin mental cedera, kata seorang kawan. Barangkali ada benarnya.

Dua telinga, satu mulut. Kita seharusnya lebih banyak menyimak ketimbang ngoceh. Dengan begitu bisa memilah dan memilih dengan lebih baik. Agar bisa lebih mengerti…

kang yoyon

Orde Baru membredel TEMPO, DeTIK, dan Editor pada 21 Juni 1994. Di Radio Mara, Bandung, Mohamad Sunjaya memutar berulang-ulang Song for Liberty dari Opera Nabuco karya Giuseppe Verdi.

“Saya protes, saya marah, saya pilu, saya tak bisa apa-apa lagi. Saya ulang-ulang tuh lagu,” kata Kang Yoyon, panggilan akrab Sunjaya, kepada jurnalis Agus Sopian yang menulis kisah Radio Mara.

Kang Yoyon bukan penyiar biasa. Dia juga seorang aktor teater yang andal. Dibesarkan Studiklub Teater Bandung (STB), dia lalu mendirikan Actors Unlimited. Untuk Radio Mara, dia bekerja sejak 1971.

Pada 1990-an itu, saya beberapa kali ke kantor Radio Mara untuk bertemu Noor Achirul Layla atau Mbak Ea, dosen wali, yang juga bekerja di sana. “Elu beruntung dapat dia,” kata Mbak Ea saat saya mengajak pacar. Saya hanya tergelak.

(Mbak Ea lebih dulu pamit pada November 2003. Ribuan orang mengantar pemakamannya.)

Orang-orang Mara, dalam penglihatan saya: berpikiran bebas, urakan, ogah menyembah-nyembah otoritas formal.

Pada November 1991, Kang Yoyon dipecat dari posisi pemimpin redaksi Pusat Pemberitaan Radio pada Persatuan Radio Siaran Swasta Niaga Indonesia (PRSSNI) Jawa Barat. Pria kelahiran 1937 itu dianggap bersalah menugaskan reporter untuk meliput demonstrasi mahasiswa yang menentang Sumbangan Dana Sosial Berhadiah (SDSB).

Sejatinya, Kang Yoyon bukan tak bisa berbuat apa-apa dengan pembredelan tiga media tersebut. Dia rajin merekam siaran radio-radio luar negeri berkaitan dengan peristiwa menjelang dan sesudah pembredelan.

Puluhan kaset rekaman milik adik kandung Jenderal Yogie S Memet itu kemudian ditranskrip dan dibukukan dengan judul Bredel di Udara. Inilah dokumentasi amat berharga atas praktik kezaliman sebuah rezim.

Kemarin sore kabar duka itu tiba. Wilujeng angkat, Kang Yoyon. Titip salam buat Pak Ton ( atau Jenderal HR Dharsono yang banyak membantu Radio Mara di masa-masa awal) dan Mbak Ea.