Saya telah terkesan sejak hari-hari pertama di kampus. Gaya bicaranya meyakinkan meski dengan cengkok Pantura yang terkadang hadir ke permukaan. Pikirannya tajam. Kami diikat satu hal: Orde Baru harus dilawan.
Ketika angkatan kami melanjutkan penerbitan majalah kampus, saya tak ragu untuk menjadi makmum dan ia adalah pemimpin redaksinya.
Banyak malam dilalui bersama teman-teman lain. Juga di kamar kosnya, di lantai dua sebuah rumah, di pelosok Sekeloa, Bandung. Diiringi buku-buku, jurnal Prisma, asap rokok, dan botol “air kata-kata.” Pun obrolan soal para perempuan yang jadi idaman.
Tak selalu kami sehaluan. Pernah satu malam kami berdebat sengit soal pers dan keberpihakan. Juga perihal Tuhan dan kehendak bebas manusia. Namanya anak muda, kami punya kemewahan untuk bicara setinggi bintang.
Cara melawan rezim pun jadi pangkal pertengkaran. Terkait dengan itu, apa yang jadi target pokok: ganti sosok atau ubah sistem.
Setelah mengenalnya lebih dalam, saya menduga, ia bakal menjadi aktivis, menjadi jurnalis pasti bukan cita-cita utama. Keprihatinan pada nasib rakyat kecil tertanam kuat di kepalanya.
Pada akhir masa kuliah, kami jarang bertemu. Saya berjuang menyelesaikan skripsi, ia larut dalam aktivisme – bahkan memilih tak mendapatkan ijazah dari kampus.
Media sosial mempertemukan kami kembali dalam beberapa tahun terakhir. Tapi tak ada lagi percakapan soal “bintang gemintang” di langit sana. Kami hanya bergurau, merisak satu sama lain dengan kisah asmara di masa silam sebagai amunisi.
Hari ini, Trisno W Demah menuju ke langit.