koran rahman tolleng

Mereka adalah pendukung Orde Baru. Tapi belakangan justru dihabisi rezim tersebut, beberapa hari setelah Malari. Bulan madu yang tak sampai sewindu, Juni 1966 – Januari 1974.

Pada 1970, ketidakpuasan terhadap Orde Baru mulai merebak. Korupsi kembali terlihat, sementara perbaikan kehidupan rakyat masih jauh panggang dari api. Mahasiswa pun menggeliat lagi, turun ke jalan. Koran ini, Mahasiswa Indonesia, menunjukkan simpati dengan aktif melaporkan aksi-aksi mahasiswa.

Enam edisi Mahasiswa Indonesia ini tiba kemarin di gubuk kami dengan cara tak terduga. Dikirim Bli Gde Dwitya Arief Metera dari kota yang juga punya sejarah panjang soal gerakan mahasiswa: Jogja.

Nah, dalam pengamatan Francois Raillon, “Meski mereka setuju dengan amarah mahasiswa, para pemimpin Mahasiswa Indonesia tetap merasa bertanggung jawab pada Orde Baru. Mereka makin percaya bahwa modernisasi, reformasi, dan keberhasilan pelaksanaannya hanya mungkin dilaksanakan dalam rezim Orde Baru.”

Pemimpin Mahasiswa Indonesia? Ada sejumlah nama. Tapi yang paling menjulang tentu saja Rahman Tolleng, sang pemimpin redaksi. Ia disebut-sebut sebagai konseptor dan aktor intelektual mingguan ini. Pada awal 1970-an itu, Tolleng sudah masuk parlemen dari Golongan Karya (Golkar).

Tolleng adalah legenda aktivisme mahasiswa dekade 60-an dalam menumbangkan Orde Lama. Sosoknya unik: kerap dibicarakan tapi jarang muncul di kerumunan. Ia lebih banyak bergerak di bawah tanah.

Sempat kuliah di IPB, Tolleng lalu pindah ke Bandung untuk belajar di jurusan Farmasi UI (yang belakangan digabungkan ke dalam ITB). Di tingkat empat, ia meninggalkan ilmu eksakta dan masuk Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Padjadjaran. Mahasiswa Indonesia pun berkantor di Bandung.

Meleset dari namanya, mingguan ini tak berbasis di kampus. Ia sejatinya media umum, bukan pers mahasiswa. Sejak awal, Mahasiswa Indonesia mencanangkan diri sebagai “koran ide.” Ide yang diperjuangkannya adalah menyelamatkan Indonesia dari dekadensi dan krisis yang diwariskan Orde Sukarno.

Mahasiswa Indonesia dikenal lantaran kualitasnya. Tulisan-tulisan dikurasi dengan saksama. Sejumlah intelektual rajin menulis di sana. Misalnya Soe Hok Gie, Wiratmo Soekito, atau Mochtar Lubis. Tak mengherankan kiranya jika banyak dibaca.

Pada edisi 26 Januari 1969, misalnya, esai Sanento Yuliman dimuat dengan judul “Gondrong.” Bergaya satire, tulisan ini mengkritisi aparat pemerintah yang memerangi anak-anak muda berambut gondrong. Kita simak paragraf pertamanya, “Rambut gondrong mempunjai beberapa manfaat — ketjuali barangkali bagi tukang2 tjukur. Salah satu manfaat rambut gondrong ialah untuk men-test apakah kepala seseorang masih bebas di Republik yang demokratis ini.”

Malari meletus, Tolleng ikut diciduk bersama ratusan orang lain. Akhirnya hanya 45 orang yang tak dilepaskan. Selain Tolleng, ada tokoh utama Hariman Siregar, advokat Adnan Buyung Nasution, politisi senior Subadio Sastrosatomo, ekonom Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, dan nama-nama lain. Mereka dituding sebagai otak demonstrasi mahasiswa yang berujung rusuh pada 14 Januari 1974.

Di Golongan Karya, tulis Raillon, ada kecurigaan bahwa Tolleng sebenarnya kader Partai Sosialis Indonesia (PSI). Pada 1960, PSI dibubarkan Sukarno. Kendati demikian, tokoh-tokohnya sangat kritis terhadap Orde Baru. “Saya bukan anggota PSI, meskipun memang saya berteman dengan orang-orang PSI,” kata Tolleng dalam wawancara dengan TIARA, Oktober 1993.

Selama 16 bulan Tolleng ditahan tanpa pernah diadili. Sementara  Mahasiswa Indonesia telah lebih dulu pergi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *