nyonya cemplon

Nyonya Cemplon adalah tokoh rekaan. Umar Nur Zain menciptakan sosok tersebut sebagai pipa yang mengalirkan pikiran-pikirannya. Saya menemuinya kembali akhir pekan ini, sekadar meredam lelah dan jenuh.

Renyah mengalir, dengan taburan humor dan sinisme di sana-sini. Sang narator berperan sebagai teman Nyonya Cemplon yang kerap diajak ngobrol, curhat, juga berjumpa di berbagai acara. Cemplon digambarkan super-fleksibel: ada di mana saja, kapan saja.

Tulisan-tulisan itu hadir rutin di Sinar Harapan Minggu pada awal 1980-an. Belum lahir? Saya juga…hehe… Sinar Harapan terbit sore. Sebagian orang, dengan nada mencibir atau bergurau, menyebutnya “koran Kristen.” Beberapa kali dibredel penguasa tapi boleh terbit lagi. Lalu akhirnya benar-benar menemui ajal pada 1986.

Nah, kiranya tak banyak yang mengingat Umar Nur sebagai kolomnis yang oke. Berbeda dengan Umar Kayam, Emha Ainun Nadjib, atau Mahbub Djunaidi. Umar Nur sendiri merupakan jurnalis di Sinar Harapan. Dari hasil googling, ia juga menulis novel.

Saya juga baru tahu belakangan soal Nyonya Cemplon, puluhan tahun setelah kolom-kolom itu dibukukan. Tapi sudah tahu soal penulisnya karena dia juga menyusun buku penulisan feature, yang dipakai saat kami kuliah.

Di kolom-kolomnya, Umar Nur meluncurkan kritik sosial, terutama terkait perilaku masyarakat Jakarta di masa tersebut. Tentang fenomena orang kaya baru, transportasi publik yang menyedihkan, merebaknya disko, penyebaran video porno dll.

Buat milenial dan generasi Z, membacanya bisa menjadi pintu masuk untuk meraba denyut nadi kehidupan sosial pada masa Orde Baru. Buat mereka yang lahir 1960-an atau sebelumnya, antologi ini niscaya menyeret mereka dalam nostalgia.

Itu semua berkatĀ  kehadiran perempuan tajir, cantik, dan wangi bernama Cemplon.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *