makelar

HB Jassin pernah juga menjadi “makelar” tulisan. Kritikus dan dokumentator sastra ini menerima surat dari Buchari. Isinya tanggapan atas esai Pramoedya Ananta Toer di Bintang Timur pada rubrik “Lentera”, 27 Oktober 1963.

Semula Jassin akan memuat surat tersebut di media yang diasuhnya, Berita Republik. “…tapi setelah dipikir-pikir maka kami batalkan karena mungkin hanya akan mengeruhkan suasana. Barangkali Saudara punya perhatian untuk mempelajarinya dan mengumumkannya untuk dijawab,” tulis Jassin dalam surat untuk Pramoedya Ananta Toer, 2 November 1963.

Pram ternyata memuatnya di Bintang Timur. Jassin pun menyampaikan apresiasi dalam surat tertanggal 13 November 1963: “Bersama ini saya teruskan surat kedua dari Buchari. Oleh karena suratnya yang pertama telah secara fair play telah saudara muat di Lentera – untuk mana kami menyatakan penghormatan dan terima kasih – diharap saudara pun suka memuat surat yang kedua ini…”

Eh, siapa sih Buchari? Dalam keterbatasan referensi, saya teringat Prahara Budaya. Membuka lagi buku kontroversial itu, surat Buchari ternyata ada di sana. Dalam pengantar editor, terkuak bahwa Buchari adalah Bokor Hutasuhut, salah seorang penandatangan Manifes Kebudayaan.

Nama asli Bokor memang Buchari. Kenapa Bokor “menyamar” dengan memakai nama asli yang sedikit orang tahu dan menanggalkan marganya? Barangkali ia sudah mengendus bahaya.

Kira-kira, Manifes merupakan ungkapan protes pada upaya subordinasi kesenian pada politik –hal yang dinisbahkan kepada Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Petikannya,”Bagi kami kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia. Kami tidak mengutamakan salah satu sektor kebudayaan di atas sektor kebudayaan lain. Setiap sektor berjuang bersama-sama untuk kebudayaan itu sesuai dengan kodratnya.

Selain Bokor, para penandatangan Manifes adalah Wiratmo Soekito, Jassin, Trisno Sumardjo, Soe Hok Djin (belakangan menjadi Arief Budiman), Goenawan Mohamad, Bur Rasuanto, Zaini, Ras Siregar, DS Moeljanto, Djufri Tanissan, A. Bastari Asnin, Sjahwil, Taufiq Ismail, M. Saribi Afn., Purnawan Tjondronegoro, Hartojo Andangdjaja, Binsar Sitompul, dan Boen S. Oemarjati.

Manifes akhirnya dilarang Presiden Sukarno pada 8 Mei 1964. Sebab dianggap tak sesuai dengan semangat revolusi. Tapi, aroma pemberangusan telah tercium beberapa bulan sebelumnya.

“Sejak September 1963 sampai 8 Mei 1964, serangkaian kampanye yang sengit, kadang tidak adil, dan yang jelas sistematis, dilancarkan terutama oleh mereka yang punya hubungan dengan PKI dan PNI. Selama tujuh bulan Manifes Kebudayaan itu diserang lewat statement, pidato, dan tulisan, sampai akhirnya ia dinyatakan terlarang,” tulis Goenawan Mohamad dalam esai panjangnya di TEMPO, 21 Mei 1988.

Para seniman yang terlibat dalam Manifes segera mendapat stempel “kontrarevolusioner,” sebuah cap sangat buruk pada masa itu. Tak mengherankan jika, pada akhir Oktober 1963 itu, Bokor merasa jeri.

Bahwa Jassin membatalkan pemuatan di Berita Republik, agaknya juga harus dibaca dalam konteks tersebut. Ada kecemasan karena ternyata penolakan terhadap Manifes begitu besar. Berbeda jika ditayangkan di koran kiri seperti Bintang Timur. Jassin seperti mengambil jalan memutar: ide yang (mungkin) diyakininya tetap muncul tapi dengan meminjam tangan orang lain.

Setelah Mei 1964, pengganyangan berlanjut kencang. Mereka tak bisa menulis lagi di media massa, tak diizinkan mengajar – seperti yang terjadi pada Jassin. Meski, kata Goenawan dalam tulisan yang sama, itu semua tak sebanding dengan penindasan yang dialami para penulis dan cendekiawan kiri pasca-30 September 1965.

Merasa jeri namun Bokor memilih tak 100% tiarap dan terus menulis meski dengan menyamarkan diri. Dua surat lain dikirim ke Jassin yang lalu meneruskan ke Pram. Surat kedua dimuat dan Pram merespons dengan tulisan. Tapi, surat ketiga Buchari tak ditayangkan.

Jangan bayangkan polemik itu memperdebatkan kualitas karya sastra. Ini lebih menyoal posisi “politis” masing-masing. Judul surat pertama Bokor adalah Apakah Bung Pram Memang Revolusioner?. Di sana Bokor mempermasalahkan, salah satunya, kepergian Pram ke Belanda atas biaya Sticusa (badan kerja sama kebudayaan Indonesia-Belanda) pada 1953. Surat itu ditutup dengan signature: “Dari konco lawasmu, (Buchori).”

Dalam esai tanggapan sebagaimana terbaca di Prahara Budaya, Pram menyebut Buchari adalah Bokor. Saya tak punya akses ke naskah asli di Bintang Timur. Jadi tak bisa memastikan apakah Pram memang tahu bahwa Buchari adalah Bokor. Sementara, dalam surat Jassin ke Pram tertulis,”…saya kirimkan bersama ini surat terbuka dari seorang bernama Buchari.”

Pada masa itu para buzzer belum merebut arena. Makhluk bernama netizen belum menjelma. Hanya segelintir elite cendikia yang bisa bersuara — meski harus menyamar. Bokor menulis surat dan Sang Paus Sastra pun menjadi “makelar.”

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *