hatta dan sjahrir, sesaat sebelum jepang datang

Catatan: ini petikan “mentah” dari naskah buku yang entah kapan kelarnya.

Tak lama sebelum meninggalkan Banda Neira, Mohammad Hatta menulis artikel yang menyatakan dukungan kepada Sekutu, sekaligus memperlihatkan penolakan terhadap Jerman dan Jepang. Hatta ada di Banda Neira sejak Januari 1936. Statusnya: orang buangan rezim kolonial Belanda.

Sejak awal abad ke-20, Jepang menggeliat. Menjadi satu kekuatan militer baru dari Timur. Syahwat imperialisme negeri tersebut pun sempurna mekar. Pada awal Desember 1941, Jepang menghajar Pearl Harbour di Hawaii. Api Perang Pasifik berkobar.

Sahabat dekat Hatta dan sesama penghuni tanah pembuangan Banda Neira, Sutan Sjahrir, dikirimi ikhtisar artikel tersebut. “…aku segera menemuinya dan mengusulkan supaya artikel itu jangan dipublikasikan. Aku merasa bahwa pubikasi itu akan mempunyai akibat-akibat yang tidak bisa diramalkan bagi kami, dan tidak ada gunanya untuk mendukung Belanda dengan cara itu,” tulis Sjahrir dalam catatan hariannya.

Sial. Karangan itu telah dikirimkan satu jam sebelumnya via pos. Mereka gagal menganulir pengiriman. Belanda pun menggunakan artikel itu sebagai propaganda. Diterjemahkan dalam beberapa bahasa daerah.

Menurut Sjahrir, sikap Hatta yang anti-fasis lahir dari akal sehat, bukan menjilat Belanda. Sebagai demokrat, Hatta merasa tak punya alasan harus pro-Jepang.

Judul artikel itu Rakjat Indonesia dengan Perang Pasifik, dimuat di Pemandangan, 22 dan 23 Desember 1941. Nukilannya:

“Memang demokrasi Barat tidak akan membawa tertjapainja tjita-tjita Indonesia begitu sadja, djika ia menang dalam pertempuran ini. Ini telah lebih dahulu saja kemukakan. Tetapi adakah Djepang akan memberikannja? Djika Djepang dengan kawan-kawannja menang, dunia akan diperbudaknja. Djika Indonesia tidak diperbagikan antara Djerman dengan Djepang, ia akan jatuh kebawah perintah Djepang. Dan tjita-tjita Indonesia akan sia-sia sama sekali. Pada fascisme tidak dapat dikemukakan tjita-tjita sebagai hak untuk menentukan nasib sendiri. Fascisme menghendaki cuma satu: t u n d u k kepada kekuasaannja. Kepada demokrasi Barat, jang masih membatasi demokrasi bagi dia sendiri, masih dapat dimadjukan alasan jang terambil dari teorinja sendiri.”

Dua tahun sebelumnya, Hatta memperlihatkan sikap anti-fasis secara eksplisit.  Di majalah Pandji Islam, ia menulis esai berjudul Mendjadi Perang Ideologi.

“Kita tidak perlu melihat djauh kenegeri lain seperti ke India, dimana suatu gerakan terus terang menjatakan aliran fasisme. Kita lihat sadja di Indonesia kita ini. Berbagai gerakan pemuda dalam golongan ‘padvinderij”, mengambil gelagat fasis. Tidak heran, sebab fasisme mengetok pada rasa kebangsaan. Dan pemuda jang belum tahu berpikir pandjang terpikat dengan suara itu. Sebagaimana Hitlerjugend memberi salam pada pemimpinnya, tjara itu pula yang dipakaikan. Pakaian militer jang memperkuat semangat disiplin sangat disukai. Anak ketjil jang baru balita hanja mengatakan, bahwa bahaja fasis jang akan meratjun masjarakat kita sudah tampak tanda-tandanja. Sebab itu kita harus awas. Pergerakan jang berdasarkan demokrasi jang harus dikemukakan, bukan pergerakan  jang memakai dasar diktatur atau diktatorium. Ini ratjun, ini bahaja; sebab itu disebut terus-terang disini,” tulis Hatta.

Rumah pembuangan Hatta di Banda Neira (KOMPAS)

Konsistensi Hatta soal fasisme kukuh. Sepuluh tahun sebelumnya, ia menulis esai yang memperingatkan bahaya imperialisme Jepang. Di bawah judul Politik Imperialisme Djepang di Tiongkok, Hatta mengatakan Jepang datang ke Mansjuria, yang merupakan bagian dari Tiongkok, karena kebutuhan dalam negerinya.

Mansjuria adalah tanah yang subur dan kaya. Kekayaan alam itu belum  digarap sepenuhnya. Penduduknya masih sedikit. Jika Mansjuria bisa dikuasai, perekonomian Jepang bakal kuat. Jepang miskin sumber daya alam tapi berupaya keras menyulap diri menjadi negara industri.

“Untuk penghidupan penduduknja dan kemajuan industrinja bergantung pada negeri luaran. Untuk mentjukupi makanan rakjatnya ia perlu mendatangkan gandum dari luar. Untuk industrinja ia perlu akan benda-benda kasar jang ada dalam tanah seperti besi, minjak, dan segala rupa. Kemudian hasil industri itu mesti didjual ke luar negeri. Supaja industrinya djangan roboh dibawah persaingan, maka ia harus mempunjai pasar yang semata-mata dibawah pengaruhnja. Pendeknya ia terpaksa mendjalankan politik imperialisme, mengembangkan sajap kenegeri asing,” tulis Hatta di Daulat Ra’jat, Februari 1932.

Sikap anti-fasisme ini bertolak belakang dengan pendirian rakyat: mendamba kedatangan Jepang sebagai pembebas. Memasuki 1942, rakyat tak lagi takut pada polisi Hindia Belanda. Mereka yakin keruntuhan rezim kolonial tinggal menunggu waktu. “Mereka menyatakan terus terang, bahwa ramalan Joyoboyo akan menjadi kenyataan dan bahwa zaman kekuasaan orang kulit putih sudah berakhir. Kedatangan bangsa Jepang, kata mereka, akan membawa kemerdekaan,” catat Sjahrir.

Sjahrir sendiri beranggapan, sia-sia melawan kepercayaan yang menjalar cepat itu. Ia merasa tak ada yang bisa diperbuat selain berdiam diri dan menunggu saat yang baik.

Lalu, mereka dipindahkan ke Sukabumi pada Februari 1942. Sempat ada usul agar Hatta dan Sjahrir meninggalkan Tanah Air. Rencana ini batal. Mereka belum tuntas berpikir. Pun karena Amir Sjarifuddin, tokoh Gerindo, yang membujuk mereka agar pergi ke Australia saat Jepang tiba, tak muncul lagi. Amir punya akses ke para pejabat kolonial Belanda yang bisa membantu pelarian. Seperti Hatta, Amir tak suka dengan fasisme tapi ia melangkah lebih jauh: berkolaborasi dengan Belanda.

Tak lama berselang, Jepang berhasil menguasai Hindia Belanda dengan lekas bin gampang. Kemudian, dua orang Jepang datang ke Hatta dan Sjahrir. Mereka minta Hatta pergi ke Bandung untuk menemui  para pejabat militer Jepang. Hatta semula menolak. Tapi dua orang itu mendesak.

Kata Sjahrir, Hatta kaget lantaran tak ditangkap meski tulisannya yang pro-Sekutu telah tersebar luas.

Pada akhirnya, “…kami memperhitungkan bahwa Hafil akan harus terpaksa bekerja sama dengan Jepang sampai tingkat tertentu demi kepentingan gerakan kami, sedang aku akan memimpin organisasi dan mengemudikan perjuangan kami di bawah tanah,” lanjut Sjahrir.  Dalam catatan harian itu, nama Hatta disamarkan sebagai Hafil.

Sjahrir benar. Hatta mustahil menolak tawaran Jepang untuk bekerja sama. Penolakan berarti menaruh katana di leher. Selanjutnya adalah sejarah. Hatta ada di dalam sistem, Sjahrir bergerak di bawah tanah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *