kacamata

Kami menuju sebuah optik. Hasil pemeriksaan, Kafka disarankan mengenakan kacamata. Mata dia dinyatakan minus dan ada silindrisnya.  Mata kanan minus 0,5; yang kiri 1,25.

Usia Kafka baru sembilan tahun. Terlalu dini, pikir saya. Kami menghampiri optik lain — hanya belasan meter dari optik pertama. Semoga ada kabar baik. Ups, hasilnya sama: anak bungsu kami itu memang kudu menggunakan kacamata.

Ada masa ketika kacamata identik dengan sosok serius, pendiam, kaku. Mengingat asosiasi ini, saya mengernyitkan jidat: Kafka lumayan jauh dengan semua sifat itu.

Mungkin Bung Hatta bisa menjadi contoh paripurna. “Oom Hatta selalu terlihat serius, untuk itu kami menjulukinya “Oom Kacamata” … Oom Hatta sangat teratur menyusun acara-acaranya yang dilakukan setiap hari. Mengajar murid jam 11.00, membaca jam 13.00 hingga 14.00. Setelah makan siang, dilanjutkan istirahat siang selama satu jam,” tulis Des Alwi.

Des mengenal Hatta saat orang Minang itu dibuang rezim kolonial ke Banda Neira. Des lahir di Banda. Ia masih bocah saat Hatta mendarat di sana pada awal 1936.

Terkait buku, Hatta dikenal kaku. Ia kerap meminjamkan buku-bukunya. Namun, akan gusar jika peminjam mengembalikan dalam keadaan lecek atau dihiasi coretan.  Hatta memperlakukan buku sebagai harta tak ternilai, yang layak dijaga sepenuh hati.

Pernyataan Hatta ini masih sering dikutip: “Aku rela dipenjara asalkan bersama buku karena dengan buku aku bebas.” Sejumlah anak muda bahkan menaruhnya sebagai teks di kaos oblong.

Namun, ada sosok berkacamata lain yang mengendap di ingatan: John Lennon. Berbeda dengan Hatta, Lennon adalah sosok urakan. Ya, soal karakter, Kafka rada dekat dengan Lennon.

Bentuk kacamata Lennon bundar. Jenis ini disebut teashades. Mulai banyak digunakan sejak awal 1960-an di Amerika Serikat dan Eropa. Terutama, konon, untuk menyembunyikan efek narkotika di sekitar mata.

Untuk memperingati ulang tahun ke-44 pernikahan dengan Lennon, Maret 2013, Yoko Ono men-tweet foto kacamata yang berlumuran darah itu — salah satu benda yang dipakai Lennon saat kematiannya. Dalam tweet itu, Yoko Ono menulis, “Lebih dari 1.057.000 orang tewas akibat penyalahgunaan senjata di AS, sejak Lennon ditembak dan dibunuh Mark Chapman pada 8 Desember 1980.”

Hatta dan Lennon sama-sama pejuang. Dengan cara masing-masing, mereka melawan ketidakadilan, peduli dengan situasi di luar. Pada 1969,  Give Peace a Chance  dinyanyikan ratusan ribu orang pada demonstrasi besar di Washington DC untuk menentang Perang Vietnam. Pada tahun yang sama, Lennon mengembalikan penghargaan dari Ratu Elizabeth II beberapa tahun sebelumnya sebagai protes atas dukungan Inggris untuk perang tersebut.

Nah, agar tudingan tak peduli menjauh, saya harus segera mencari kacamata buat Kafka. Give glasses a chance

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *