energi dari suatu masa

Senjakala mailing list telah tiba. Di puncak kejayaannya, 2005-2011, saya mengikuti belasan grup. Niat ingsun menambah wawasan. Salah satunya, Jalansutra.

Ada satu posting di Jalansutra yang, buat saya, istimewa. Meski terselip melankoli di sana. Bondan Winarno yang kirim, hampir tujuh tahun lalu.

Pak Bondan didapuk jadi “kepala suku” di grup kuliner dan jalan-jalan itu. Tulisan-tulisannya mengalir elok…dan bikin air liur memberontak. Tapi, posting itu bukan terutama soal makanan.

Saya baca berulang kali. Tiap kali menengoknya,  seperti ada suntikan energi baru ke urat nadi.  Ini posting tersebut:

Sun, Apr 26, 2009 9:25 am

Keluarga JS-ku,

Minggu pagi yang cerah dan hangat. Cocok untuk membawa laptop ke gazebo di sudut belakang rumah. Secangkir kopi harum 70% arabika – 30% robusta hasil seduan moka pot, dan wangi salami Italia dan keju Swiss di dalam selapis frankenbrot. Gemericik air di kolam renang yang ditiup sepoi angin, dan agak jauh lamat-lamat terdengar Witteke van Dort dengan lagu-lagu Indo-nya.

*Geef mij maar nasi goreng* (beri aku nasi goreng)
*Met een gebakken ei* (dengan telor matasapi)
*Wat sambel en wat kroepoek* (ada sambel ada krupuk)
*Met een good glass bier erbij* (dan segelas bir di sampingnya)

Karena hari ini kami putuskan untuk membolos gereja, setidaknya saat teduh di gazebo ini harus dimulai dengan mengucap syukur kepada Sang Maha Pencipta.

*Come to my heart*, Kanjeng Gusti, *come into my heart*!

*Yes, life is to be celebrated*. Kemarin dulu, Jumat pagi, di tengah sebuah pertemuan di sebuah kedai kopi di Kemang, saya menerima berita duka. Abang ipar (suami mbakyu) saya, Gunawan Wibisono, meninggal dunia dalam usia 71 tahun. Sebelumnya ia sudah sekitar lima tahun menderita karena serangan stroke. Sempat dua bulan mendekam di rumah sakit, dan tiga minggu terakhir ketika hayat dikandung badan, ia memilih untuk pulang ke rumah. Sebelum menjadi abang ipar, Mas Gun adalah pembina pramuka saya. Ia adalah seorang di antara sedikit yang tetap menghidupkan jiwa pandu dalam hidupnya.

Saya langsung terbang ke Semarang, mendampingi mbakyu yang – sekalipun terguncang – tampak ikhlas menerima ajal suaminya. Diputuskan untuk memakamkan keesokan paginya karena menunggu beberapa anggota keluarga yang belum hadir. (Terima kasih untuk JS-er Widya Wijayanti yang sempat datang ke rumah duka). Sabtu pagi, jenazah diturunkan ke liang lahat. Kuburan kota itu disebut Bergota – dari bahasa Belanda “*berg in de* kota” alias bukit di tengah kota. Titik makam itu sangat tinggi, sehingga pemandangan kota Semarang dapat terlihat – bahkan laut di kejauhan pun tampak. Selamat jalan, Mas Gun. Semoga Mas Gun mendapat ketenangan dan kebahagiaan di sana.

*Vliegmachine kapal udara …*
*Bangun mendusin denger suara …*

Lamat-lamat Witteke masih menyanyi lucu. Suhu kopi telah turun ke suam-suam kuku. Harumnya pun mulai pudar ditenggelamkan bau rumput yang baru saja dipangkas di Hole 8 – di belakang halaman kami.

*Celebrate life*! Tuhan punya rencana melalui kita semua. Mari kita jalankan peran kita masing-masing dalam hidup ini. Sebagai seorang pandu, saya selalu ingat janji pandu yang diawali dengan kata-kata: *on my honor, I will do my best*! Marilah kita masing-masing menjadi “*the best*” dalam setiap bidang yang kita kerjakan. Bila kita tidak mampu menjadi “*the best*”, kita hanya menjadi “biasa-biasa saja”.

*Be the best janitor! Be the best taxi driver! Be the best mother! Be the best in whatever you do!* Selamat hari Minggu, man-teman. Hari ini kita istirahat. Besok kita kerja keras lagi.

Salam,
Bondan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *