cinta di jatinangor

Lagu karya Pidi Baiq itu saya putar berulang kali di YouTube. Asyik di telinga tapi ditampik anjurannya. Saya mau ke Jatinangor.

Sabtu 19 September, pukul 10.35. Telat 35 menit dari kesepakatan di antara Tim Kerja Jurnalistik Mudik. Acara baru resmi dibuka 2,5 jam lagi. Langit di atas Jatinangor cerah.

Bersama Raya dan Kafka, saya memasuki halaman kampus dengan dua pertanyaan berkecamuk di kepala. Akankah banyak teman yang hadir? Lancarkah semua yang direncanakan?

Belasan orang telah berkumpul di selasar itu, di antara Gedung I dan V FIKOM Unpad. Mata segera memindai. Beberapa saya kenali. Tapi jauh lebih banyak yang asing karena berstatus mahasiswa, bukan alumnus. Menjelang selasar, banner berukuran 3 x 5 meter dipancangkan.

Sebidang panggung telah siap, lengkap dengan sound system. Bukan panggung sejatinya, hanya lantai yang lebih tinggi tapi difungsikan sebagai panggung. Di bagian belakang, backdrop terpasang. Hagi, teman seangkatan saya, yang merancang.

Selain Hagi dan saya, Tim Kerja diisi dua dosen, Nunik Mpok dan Sandy Usenk, plus alumnus lain: Fitria, Ucha, Santo, dan Ari Marifat.

Persiapan hanya sekitar satu bulan. Mepet untuk kerja sebesar ini. Tanggal telah ditetapkan, saya diajak kemudian. Padahal, dalam bayangan, ideal andai kerja semacam ini dikerjakan dengan persiapan tiga bulan. Keinginan untuk digelar bersamaan dengan Dies ke-55 FIKOM Unpad membuat minimnya waktu mesti dihadapi sebagai tantangan.

SEMAKIN BANYAK PESERTA REUNI yang tiba. (Nyaris) semua berbekal wajah sumringah. Dua hari sebelumnya, saya menulis promo di Facebook, “Datang, datanglah menjelang siang. Siapkan hati yang riang.” Selain Facebook, kami juga bergerilya via Whatsapp.

Dunia maya memang jadi andalan. Termasuk, menyangkut kerja kepanitiaan. Kami membentuk grup Whatsapp, membahas persiapan di sana. Hanya dua kali bertemu secara fisik di Cilandak.

Jreeeng! Acara dimulai pukul 13.00. Entah berapa persisnya jumlah alumnus yang hadir. Di atas 100 namun agaknya di bawah 200 orang. Sesuai ekspektasi? Hmm…tidak. Ada angkatan yang “diwakili” 30-an orang. Ada juga beberapa angkatan yang sama sekali tak “mengirim utusan.”

Secara paralel, kegiatan dipilah dua. Selasar menjadi tempat seru-seruan para alumnus, Ruang Oemi Abdurrachman menjadi lokasi sharing session. Pada Hari H, saya diminta lebih fokus ke sharing session. Enggan ketinggalan acara seru-seruan, saya kerap turun juga ke selasar.

Delapan alumnus Jurnalistik bicara di hadapan mahasiswa tentang pengalaman kerja usai dari kampus. Mereka adalah para alumnus dengan pencapaian personal yang layak dibanggakan, entah di bidang jurnalistik atau non-jurnalistik. Harapan kami, mereka mampu menyulut mimpi para hadirin.

“Kenapa si Anu tidak diminta bicara?” kata seorang teman di Facebook, tak lama setelah nama-nama pembicara dilansir, beberapa hari sebelum acara.

“Mohon maaf, kawan, tak bisa menampilkan lebih banyak rockstar jebolan Jurnalistik Unpad. Cuma tersedia setengah hari. Padahal maunya cerita mereka meluncur leluasa dan diskusi tak kepepet durasi,” jawab saya.

Waktu memang cuma sejumput. Harus memilih. Kami mempertimbangkan keterwakilan generasi, media platform, dan gender. Line up itu mustahil bisa disebut sempurna tapi ikhtiar maksimal telah ditempuh.

foto fitri(Foto: Fitria Mutyara Sungkar)

Hanya saya menyesal karena selasar dan Ruang Oemi Abdurrachman terlalu dekat. Ketika band beraksi di selasar, suaranya menembus, Ya, mengganggu konsentrasi peserta dan pembicara.

Bukan cuma itu kealpaan kami. Masak pembawa acara, Rully dan Butet, tak disediakan makan?! Lupa yang memalukan. Hahaha. Dan lain-lain.

DI SELA-SELA ITU SEMUA, saya memasang mata. Kampus Jatinangor telah banyak berubah. Lebih banyak bangunan, rimbun, dan sedap dipandang. Fasilitas jauh lebih komplet.

Generasi kami, pada 1994, datang sebagai pendahulu. Kampus baru ¾ kelar. Gersang tersebab pohon-pohon yang masih kecil dan jarang. Kantin pun berupa bangunan dengan tripleks sebagai dinding. Kini semua tinggal kenangan.

Juga kenangan cinta. Kampus itu menjadi saksi, entah berapa banyak, perjumpaan hati. Renjana yang berbalas. degup jantung yang tuntas.

Meski agaknya tak sedikit pula hasrat yang tersumbat. Seorang teman meringkusnya secara “manis” sekaligus mengiris: rinduku kandas di tangga fakultas. Jika lagu yang saya putar berulang kali itu lahir lebih lekas, barangkali mereka menjadikannya anthem. Pidi Baiq bakal digelari nabi. Lantas larik yang ini serupa mantra: sudah jangan ke Jatinangor, masih ada kota lainnya, perempuan tak cuma dia.

Tak cuma Jurnalistik yang bikin kumpul-kumpul pada hari itu. Namun, mohon izin untuk jumawa, kehebohan resmi milik kami, kaum jaket biru.

Hari menuju senja. Ada yang berdesir di dada saat bait berikut kami nyanyikan di pengujung acara: jurnalistik, jurnalistik, jurnalistik goes marchin’ in…all we want to be best number…the big and happy family.

 

One thought on “cinta di jatinangor”

  1. Wow keren kang, salam kenal sy drinJurnal 98, sedih juga tdk bsa hadir semoga kedepan ada acara2 serupa yg lebih meriah, “jurnalistik … Jurnalistik … Jurnalistik goes marching in … ”

    Salam Jurnal
    K1A98014

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *