kang jalal

Kayaknya langka buku teks berbahasa Indonesia seperti Psikologi Komunikasi ini. Tak bikin jidat berkerut karena kemampuan bertutur yang mumpuni. Bernas lantaran riset kepustakaan yang serius.

Juga kaya ilustrasi. Penulisnya, Jalaluddin Rakhmat atau Kang Jalal, mengutip dialog dalam drama Julius Caesar karya William Shakespeare. Pun menaruh puisi Dorothy Law Nolte, Children Learn What They Live. Petikannya:

If children live with criticism, they learn to condemn.
If children live with hostility, they learn to fight.
If children live with fear, they learn to be apprehensive.
If children live with pity, they learn to feel sorry for themselves.
…….

Kekuatan lain buku ini adalah humor. Kebanyakan berwajah satire, humor ditebar sejak halaman-halaman pertama. Pada pengantar edisi kedua, Kang Jalal menulis, “Resensi-resensi yang dilakukan pada surat kabar-surat kabar dan majalah memenuhi dua keinginan saya — ingin diperhatikan dan ingin dipuji.” Mak jleb!

Pria kelahiran Bandung ini komunikator jempolan. Seperti tulisannya yang mengasyikkan, ceramah atau orasinya jauh dari membosankan. Kontras dengan tampilan fisiknya: kaca mata tebal, rambut belah pinggir yang terlihat butuh sisir.

Saat menerbitkan buku ini, Kang Jalal adalah dosen di Fakultas Ilmu Komunikasi UNPAD, tempat saya sekolah. Namun dia bukan dosen di jurusan saya. Dia di Ilmu Penerangan (kini, Manajemen Komunikasi), saya di Jurnalistik. Tiga tahun sebelumnya, pada 1982, ia meraih M.Sc dari Iowa State University.

Saya lupa memperoleh nilai apa untuk matakuliah Psikologi Komunikasi. Yang pasti bukan A. Kalau tidak B,  ya C.

Matakuliah itu diampu dosen lain. Kang Jalal jarang terlihat di kampus kami di Sekeloa. Dia sedang terlibat masalah, entah apa, dengan dekan kami. “Beliau bilang saya ini pintar tapi malas. Tapi saya tak bilang beliau rajin tapi bodoh ya…” ujar Kang Jalal pada suatu kesempatan — mungkin kuliah umum. Para mahasiswa sontak riuh tertawa.

Psikologi Komunikasi terbit pertama kali pada 1985. Dicetak ulang berulang kali. Tak terhitung eksemplar versi bajakannya. Kemarin, penulisnya yang kini anggota DPR dari PDIP ini berulang tahun ke-66. Publik sekarang lebih mengenal dia sebagai tokoh Syiah di Indonesia.

Pada masa itu, Syiah bukan “kata kotor” seperti sekarang. Kang Jalal aktif berceramah tentang keislaman di sejumlah kampus. Tema-tema yang kerap diusungnya niscaya memikat kaum muda: Islam sebagai energi pembebas, sahabat kaum tertindas. Bukunya, Islam Alternatif, merupakan himpunan ceramahnya di kampus. Kini? Demarkasi dibangun tebal dan tinggi, kebencian terhadap Syiah direproduksi setiap hari.

Kang Jalal juga pernah menjadi sosok yang “keras” di saat muda. Lahir dari keluarga nahdliyin, belakangan dia bergabung dengan Muhammadiyah. Kemudian, dengan dada bergelora, kembali ke kampungnya di Cicalengka, Kabupaten Bandung, untuk memberantas bid’ah, khurafat, dan tahayul.

“Tapi apa yang kemudian terjadi? Saya bertengkar dengan Uwa’ (paman) saya yang masih membina pesantren, dan penduduk kampung. Sebab, ketika semua orang berdiri untuk salat qabliyah Jumat, saya duduk secara demonstratif,” ujar dia kepada islamlib.com.

Lalu, dia berubah. Kang Jalal menemukan, fikih hanyalah pendapat para ulama dengan merujuk pada sumber yang sama, yaitu Al Quran dan sunnah. Hanya, kemudian berkembang pendapat berbeda-beda.

“…ada hal yang mungkin mempersatukan kita semua, yaitu akhlak. Dalam bidang akhlak, semua orang bisa bersetuju, apapun mazhabnya. Lalu saya punya pendirian: kalau berhadapan dengan perbedaan pada level fikih, saya akan dahulukan akhlak,” lanjut dia pada akhir September 2005 itu.

Pertengahan September 2015 nanti, ada reuni akbar di kampus Jatinangor, beberapa kilometer di timur Bandung. Kang Jalal nyaris tak punya jejak di kampus baru itu.  Dia resmi mundur sebagai staf pengajar di almamaternya. Menempuh lebuh yang lain.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *