lima puisi

Lantaran pekerjaan, saya kerap pulang menjelang dini hari. Membunuh senyap, saya menghidupkan radio di mobil. Beberapa kali, tanpa sengaja, telinga saya dihampiri lagu penutup siaran ini:

Di sana tempat lahir beta
Dibuai dibesarkan bunda
Tempat berlindung di hari tua
Sampai akhir menutup mata

Ismail Marzuki tak pernah gagal membuat dada saya tergetar dengan karyanya itu. Tidak, saya tidak sedang menggelorakan kembali semangat mooi indie. Indonesia jauh lebih berwarna ketimbang sekadar eksotisme pantai dan pegunungan atau para perempuan bergurau dengan alu di tangan.

Jakarta, dalam perjalanan pulang  itu, memang tampak menjanjikan. Lalu lintas lancar belaka, kemiskinan menghindar dari pandangan, kebodohan birokrasi tak terlihat. Tapi, bukan itu wajah sejatinya. Berjalanlah saat matahari belum sembunyi untuk tahu.

Demikian wajah Jakarta, begitu pula paras Indonesia.  Berkah, sekaligus masalah. Semuanya telah direkam dalam entah berapa ribu esai, reportase, film, atau foto. Misalnya,  Semangat Indonesia: Sebuah Perjalanan Budaya. Ini sebuah travelogue yang tak biasa; karya Umar Kayam dan fotografer Harri Peccinotti. Mereka merekam situasi transisi di sejumlah tempat di Indonesia, khususnya di kancah seni tradisi.

Dalam tinjauan di TEMPO, Goenawan Mohamad menulis, “…kisah yang dibawakan adalah kisah perubahan, suatu pergeseran, kadang-kadang kepunahan. Dengan kata lain: sebuah pertanyaan besar, ke batin, tentang bagaimana Indonesia yang besar ini nanti.” Pekan ini, saya girang mendapat buku yang terbit 28 tahun silam itu.

Perubahan,  pergeseran. Terus-menerus, keajegan cuma ilusi. Lihat, kita pernah hidup di era otoriter. Lalu semua itu gugur ke tanah. Kini bayang-bayang itu muncul lagi meski tekanan itu tak melulu dari atas tapi banyak dari sisi kanan.

Semua dicatat, semua dapat tempat. Juga melalui puisi. Seorang teman, Arman Dhani, menyusun “lima puisi yang (paling) menggambarkan Indonesia” dan ditaruh di sini. Ia melempar tawaran ke saya untuk menyusun daftar serupa. Baiklah. Bukan keputusan yang mudah, namun inilah mereka:

Aung Sang Suu Kyi (Goenawan Mohamad)

Seseorang akan bebas dan akan lari
atau letih

Dan langit akan sedikit dan bintang
beralih

Dan antara tiang tujuh bendera dan pucuk pucat
pagoda

Seseorang akan bebas dan sorga akan
tak ada

Setelah Orde Baru makzul, salah satu berkah yang langsung bisa disesap adalah kebebasan. Belakangan, sejumlah kalangan mengusiknya. Mereka terlihat jeri, tak mau menempuhnya sebagai risiko yang pantas dilakoni. Dengan teriakan dan pentungan, mereka memaksa orang lain masuk ke kepompong lama nan pengap. Sajak ini tentang tokoh Burma nan legendaris itu tapi relevan dengan situasi Indonesia, terutama di hari-hari ini.

Doa di Jakarta (Rendra)

Tuhan yang Maha Esa,
alangkah tegangnya
melihat hidup yang tergadai,
fikiran yang dipabrikkan,
dan masyarakat yang diternakkan.

Malam rebah dalam udara yang kotor.
Di manakah harapan akan dikaitkan
bila tipu daya telah menjadi seni kehidupan?
Dendam diasah di kolong yang basah
siap untuk terseret dalam gelombang edan.
Perkelahian dalam hidup sehari-hari
telah menjadi kewajaran.
Pepatah dan petitih
tak akan menyelesaikan masalah
bagi hidup yang bosan,
terpenjara, tanpa jendela.

Kemacetan, banjir, kriminalitas, dan kesemrawutan tata kota. Jakarta akrab dengan itu semua. Rendra dengan bagus mencatat pengamatannya atas metropolitan ini. Ya, Jakarta bukan Indonesia. Tapi, Jakarta adalah pintu masuk untuk memahami Indonesia. Juga untuk “menguasai” Indonesia.

Durrahman (Joko Pinurbo)

Selamat jalan, Gus. Selamat jalan, Dur.
Dalam dirimu ada seorang pujangga yang tak binasa.
Hatimu suaka bagi segala umat yang ingin membangun kembali
puing-puing cinta, ibukota bagi kaum yang teraniaya.
Ketika kami semua ingin jadi presiden,
baju presidenmu sudah lebih dulu kautanggalkan.

Joko Pinurbo menulis puisi untuk/tentang Abdurrahman Wahid. Dalam situasi intoleransi yang belakangan menguat di Indonesia, saya intip di twitter, beberapa teman mengaku merindukan cucu Hasyim Asy’ari itu. Gus Dur memang dikenal dengan komitmen kuat untuk membela kaum minoritas. Di tangan Jokpin, kerinduan itu tercurahkan nyaris tuntas.

Priangan si Jelita (Ramadhan KH)

Seruling di pasir ipis, merdu
antara gundukan pohon pina,
tembang menggema di dua kaki,
Burangrang – Tangkubanprahu

Jamrut di pucuk-pucuk,
Jamrut di air tipis menurun.

Membelit tangga di tanah merah,
dikenal gadis-gadis dari bukit
Nyanyikan kentang sudah digali
kenakan kebaya ke pewayangan

Jamrut di pucuk-pucuk
Jamrut di hati gadis menurun.

Inilah lukisan menggetarkan tentang keelokan kampung halaman. Ramadhan menuliskannya setelah berpisah jauh dengan Tanah Air, mengembara ke Eropa. Namun, bukan cuma kecantikan. Di bagian lain puisi panjang ini, ia pun menuliskan getir-getir yang hinggap di tanah kelahirannya.

Selamat Pagi Indonesia (Sapardi Djoko Damono)

Selamat pagi, Indonesia, seekor burung mungil mengangguk
dan menyanyi kecil buatmu.
aku pun sudah selesai, tinggal mengenakan sepatu,
dan kemudian pergi untuk mewujudkan setiaku padamu dalam
kerja yang sederhana;
bibirku tak biasa mengucapkan kata-kata yang sukar dan
tanganku terlalu kurus untuk mengacu terkepal.
selalu kujumpai kau di wajah anak-anak sekolah,
di mata para perempuan yang sabar,
di telapak tangan yang membatu para pekerja jalanan;
kami telah bersahabat dengan kenyataan
untuk diam-diam mencintaimu.

Saya menangkap optimisme di sajak ini. Bahwa Indonesia punya segudang masalah, itu bukan alasan untuk menyerah. Seorang teman mengeluh, Indonesia tak tertolong lagi. Saya bersilang pendirian dengannya. Andai melihat istana dan parlemen, dia boleh jadi benar. Tapi, bukalah mata lebih lebar. Masih ada cukup banyak orang yang bekerja dengan tulus dan keras, tidak dengan merampas hak orang lain. Pun mereka yang menomorduakan kepentingan pribadi dengan bekerja untuk masyarakat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *