para kerabat

Perhelatan belum usai di rumah orangtua saya. Tapi, Pak Sis sudah harus meninggalkan Jakarta. Bersama istrinya, ia mengejar kereta Taksaka Malam pada pukul 20.45. Ia bakal turun di Purwokerto. Saya mengantarnya ke Stasiun Gambir.

Nama kompletnya Siswoyo. Ia adik bungsu ayah saya. Adik tiri. Mbah kakung sempat punya dua istri. Ibu Pak Sis adalah istri tua, ayah saya lahir dari istri muda mbah. Tujuh anak dari istri tua, dua dari istri muda. Saya tak tahu jumlah cucunya.

Ketika masih di bangku SD, saya pernah diajak menginap di rumah mbah. Sebuah rumah cukup besar dengan dinding kayu. Sebuah joglo. Halaman luas terbentang, batu-batu koral disebar. Ada empang, persis di sisi rumah. Mbah putri, ibu tiri ayah saya, tinggal di sana. Ibu kandung ayah di desa tetangga. Saat itu, ia sudah diceraikan.

Samar-samar, saya masih ingat sosok mbah kakung. Lelaki berperawakan kecil dengan sarung dan peci haji. Ia memang pernah ke Mekkah. Setahu saya, mbah berasal dari keluarga lumayan kaya–tentu untuk ukuran desa. Ia sendiri sempat lama menjadi carik alias sekretaris desa.

Ternyata, mbah dua kali ke Mekkah. “Pertama, saat beliau masih muda, diajak mbah buyutmu, ayah beliau. Kedua, 1984. Saat naik haji pertama, Pak Umar Muhammad lahir,” ujar Pak Sis.

Nama yang disebut Pak Sis adalah kakak tiri ayah saya yang lain. Wuiiih, ternyata beliau pergi meninggalkan istri yang sedang hamil. Saya belum pernah berjumpa dengan dia.

Di luar, lalu lintas sejak Kebayoran Lama hingga Pejompongan ini bersahabat. Langit cerah. Melirik jam di dashboard, saya yakin, mereka tak akan tertinggal kereta.

“Masak belum pernah bertemu Pak Umar? Waktu Vera kuliah, ndak pernah ke Purwokerto?” kata Pak Sis. Vera adalah adik bungsu saya yang hari itu melangsungkan pernikahan. Karena acara ini, Pak Sis dan sejumlah kerabat lain menuju Jakarta. Vera kuliah di Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. Ajaib, saya tak pernah menengoknya!

Saya dan adik-adik saya jauh dari akrab dengan para pakde, paklik, bude, bulik. Demikian pula dengan para sepupu. Kami tumbuh besar dan menuju tua nyaris tanpa pergaulan dengan mereka. Masalah geografis?  Kebanyakan mereka memang ada di Puwokerto. Tapi, dengan para sepupu di Jakarta pun tidak. Jika bertemu di jalan, pasti tak akan ngeh.

Saya pun tak kenal dengan kakak tiri ayah yang lain:  Pak Sulaiman.  “Dia ikut Jamaah Tabligh. Sering pergi-pergi, untuk dakwah,” kata Pak Sis yang baru saja pensiun sebagai guru itu.

“Sejak muda ikut?”

“Tidak, setelah pensiun saja. Dia pernah ke Turki untuk dakwah. Jual tanah, dapat Rp 60 juta. Rp 30 juta dipakai ke Turki.”

Saya terpana mendengarnya. Betapa asing saya dengan keluarga. Mungkin seperti orang-orang di peron itu, yang tak saling mengenal. Duduk menunggu dengan pikiran masing-masing.

Lalu, Taksaka Malam tiba. Kami mencari gerbong lima, seperti tertera di tiket mereka. Kereta ini bertujuan akhir di Yogyakarta.

Sambil menyetir ke arah rumah, saya teringat Havel dan Kafka yang sedang menginap di BSD, di rumah sepupu mereka. Semua cucu mertua berkumpul di sana. Kecuali, anak sulung Renita, adik istri saya, yang tak meninggalkan Makassar.

Di perhelatan tadi,  para cucu lelaki asyik bermain game di iPad. Satu orang bermain, tiga lainnya menonton di sisi kiri dan kanan. Bergiliran. Para cucu perempuan, tiga orang, tak mau jauh-jauh dari ibu masing-masing. Tapi, berdasarkan pengalaman, pasti mereka segera main bersama di BSD.

Betapa berbeda dengan kisah saya dan para sepupu. Saya bersyukur.

One thought on “para kerabat”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *