menulis itu, bung dan nona…

Di akhir pekan itu, kami menyambangi Thamrin City. Berdua saja. Istri berburu batik di lantai dasar, saya kelayapan di lantai tiga. Saya ke bursa buku bekas di sana. Hari menjelang sore.

Rezeki memang tak akan lari. Di salah satu kios, saya menemukan The Elements of Style. Ini buku klasik tentang teknik dasar penulisan. Terbit pertama kali pada 1918, penulisnya adalah William Strunk Jr., seorang guru besar Sastra Inggris Universitas Cornell. Pada 1957, bekas murid Strunk dan kemudian menjadi esais, E.B White, menyempurnakannya. Berkali-kali.

Tanpa pikir dua kali, saya bayar buku ini. Sambil menikmati es teler, saya mulai menyimak. Ingatan tiba-tiba melayang ke masa belajar menulis di majalah FORUM. Hukum menulis ternyata universal. Saya lihat di sana: “Use the active voice” dan “Put statements in positive forms.” Juga “Omit needless words.” Sama belaka! Langsung atau tidak, mentor-mentor saya niscaya “berguru” pula ke The Elements of Style.

Meski kampus mengajarkan teknik penulisan, saya baru benar-benar belajar di FORUM. Saat mahasiswa, dalam soal menulis, secara otodidak saya menyerap ilmu dari TEMPO. O, iya, jarang saya membeli TEMPO baru. Maklum, kere. Saya menunggunya sampai berstatus bekas di Cikapundung.

Pada kenyataannya, saya lebih tergoda mempelajari kolom-kolom di TEMPO, ketimbang feature-nya. Selain Catatan Pinggir, saya menggemari Emha Ainun Nadjib. Buat mahasiswa puber seperti saya, gaya Cak Nun ternyata lebih menyihir: meliuk-liuk dengan diksi yang khas, bermain-main dengan metafora yang unik. Esai “sederhana” ala Mohamad Sobary atau Sutjipto Wirosardjono bukan sasaran utama kekaguman.

Di FORUM, saya harus berubah. Saya menulis feature, bukan esai/kolom. Maka, hukum-hukum seperti di atas kudu ditaati. Belakangan, saya mafhum, esai “sederhana” juga bisa, bahkan lebih, memikat.

Kendati tahu sejak agak lama keberadaan buku tersebut, baru kali itu saya memegangnya. Hanya 103 halaman. Bersifat praktis. Saking hebatnya, TIME memasukkannya sebagai satu dari 100 buku non-fiksi terbaik sepanjang masa. Konon, lebih 10 juta eksemplar telah terjual di seluruh dunia.

Saya habiskan es teler itu seraya teringat bahwa harganya lebih mahal ketimbang kitab legendaris ini. Harga Thamrin City tentu, bukan Periplus atau Kinokuniya. Senja tiba saat kami beranjak pulang.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *