pada sebuah kapal

“Kirimi makanan dan minuman. Saya tidak akan meninggalkan kapal.”

Demikian pesan Kapten Abdul Rivai, nakhoda KM Tampomas II, kepada Kapten Sumirat, nakhoda KM Sangihe. Tampomas II sedang terbakar di perairan Masalembo, akhir Januari 1981. Kapal tersebut hendak menuju Ujung Pandang (kini, Makassar). Sangihe mendekat, coba menolong.

Sumirat tahu benar watak Rivai. Mereka satu angkatan di akademi pelayaran. Pelaut sejati, kata Sumirat.

Tak semua seperti Rivai. Seorang anak buah Rivai menerobos masuk ke Sangihe, cari selamat. “Bagaimana tanggung jawabmu? Kembali ke sana dan bantu temanmu menyelamatkan penumpang,” kata Siburian, salah seorang awak Sangihe. Orang yang ditegur malah mau menampar Siburian.

****

Di kantor redaksi Sinar Harapan dan dwimingguan Mutiara, peristiwa terbakar dan tenggelamnya Tampomas II meninggalkan 1.141 lembar kertas. Isinya laporan wartawan dan koresponden, salinan dokumen, telex, negatif foto, bahkan sejumlah surat kaleng.

Semua dokumen itu dibaca ulang. Sebuah rekonstruksi yang lebih detail dan cermat lantas muncul. Beberapa mata rantai yang putus disambung kembali dengan serangkaian wawancara. Kisah dibentangkan sejak Tampomas II meninggalkan Tanjung Priok sampai Mahkamah Pelayaran digelar dengan para awak kapal sebagai “tersangkut.”

Hasilnya adalah Neraka di Laut Jawa: Tampomas II. Penulisnya Bondan Winarno. Tapi, penyumbang bahan adalah belasan jurnalis di dua media tersebut. Bondan Winarno? Ya, penulis kuliner tersohor itu. Jika tak keliru, ketika itu ia adalah Redaktur Pelaksana Mutiara.

Neraka di Laut Jawa bukan karya jurnalistik biasa. Ia sangat peduli dengan cara bercerita. Ketegangan demi ketegangan dibangun secara naratif, membuat kita menahan nafas. Pengalaman personal para tokoh, penumpang dan awak, dituliskan tanpa memuncratkan kesan lebay. Rinci dan teliti. Mengharukan dan mencekam.

Nilai plus lain adalah karya ini mengungkap kesalahan-kesalahan yang membuat ratusan nyawa melayang. Misalnya, kapal semodern itu itu tak punya jala sebagai tangga pijak untuk turun. Sejumlah orang langsung tewas karena terjun bebas ke laut. Lalu, peranti komunikasi tak berfungsi. Kerja SAR juga mendapat kritikan tajam karena lamban, kurang koordinasi, dan memperlihatkan ego sektoral.

Buku itu tiba kemarin. Saya pesan secara online. Lusuh menguning, maklum sudah 31 tahun usianya. Inilah salah satu buku yang tak akan saya lepas atau pinjamkan sampai kapan pun.

****

Rivai akhirnya turut menjadi korban. Bahkan sempat tak dikenali dan dikuburkan sebagai jenazah tak dikenal bersama puluhan jasad lain. Ia lalu dimakamkan kembali di Kalibata sebagai Pahlawan Nasional.

Ia pergi dari kapal sebagai orang terakhir. Saat itu, lantai geladak telah tegak lurus dengan permukaan air. Beberapa orang yang masih bertahan di kapal kontan meluncur deras. Rivai sempat memberi hormat ke arah anjungan. Ia pun melompat ke air. Tampomas II  terkubur di dasar lautan.

4 thoughts on “pada sebuah kapal”

  1. mas, bisa tidak saya dicopiin bukunya? Ongkos cetak dan kirim saya ganti. saya sudah cari kemana-mana buku itu tidak dapat-dapat. Jika tidak berkenan, mungkin mas bisa memberi tahu mesan buku itu di mana. trims

Leave a Reply to Dani Hamdan Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *