jalan seorang penulis

/1./
TEMPO, 28 Januari 1984. Masih suasana tahun baru, tepat untuk meluncurkan sejumlah rubrik baru. Salah satunya adalah Kiat. “Kata “kiat” mengandung arti suatu kecakapan, suatu “seni” yang diperoleh dari proses pengalaman…ruangan ini membahas soal-soal manajer dan manajemen. Soal-soal manajer dan manajemen tentu saja tak cuma menyangkut profit on sales atau analisa SWOT. Para manajer umumnya sibuk dan sudah capek ketika TEMPO mulai mereka baca di sore hari,” tulis TEMPO di Surat dari Redaksi.

Penulisnya: Bondan Winarno. Dua tahun kemudian, saat tulisan-tulisan di Kiat dihimpun dalam Seratus KIAT: Jurus Sukses Kaum Bisnis, Bondan buka kartu. Goenawan Mohamad, pemimpin redaksi TEMPO, mengundang makan bersama. Di sela-sela itu, Goenawan menawari Bondan untuk menulis secara tetap tentang manajemen. “Tulis saja hal-hal yang enteng dan sederhana. Real life situation,” kata Goenawan. Mereka sepakat: kolom itu akan terbit tiap dua pekan.

Pada akhir Januari 1984 itu, Kiat meluncur. Bondan langsung menyiapkan empat tulisan. Biar aman, pikirnya. Tapi, kok saban pekan tulisannya hadir. Ia mengontak Goenawan. “Ya, saya lupa memberi tahu Sdr. Harun Musawa bahwa rubrik itu muncul dua minggu sekali,” ujar Goenawan. Kalem, seperti biasa. Harun adalah redaktur TEMPO. Ketika Bondan ke Harun, Harun bilang, “Sebaiknya memang jadi rubrik mingguan saja.” Ketika TEMPO dibredel, Kiat berlanjut di FORUM Keadilan dan KONTAN.

Saya baru menemukannya belasan tahun kemudian. Di sebuah lapak buku bekas, saya memungut Seratus KIAT. Mengasyikkan. Kita seperti menikmati dongeng. Bondan memang pencerita yang cakap. Kisah-kisah di ranah manajemen bertebaran di sekujur buku: kisah gembira, ada juga cerita duka. Saya membayangkan, orang ini pasti punya disiplin membaca yang tinggi. Benar belaka: penulis yang oke niscaya pembaca yang baik.

Saat memulai Kiat, ia belum 34 tahun. Bondan lahir di Surabaya, 29 April 1950.

/2./
The Asian Wall Street Journal, 24 Januari 1997. Di edisi itu terbit esai berjudul All The Glitters: The Indonesian Gold Rush. Penulisnya: Bondan Winarno. Itu adalah tanggapannya soal kasus Busang, tambang emas di Kalimantan Timur yang sempat diklaim memiliki kandungan terbesar di dunia padahal cuma isapan jempol. Semula, Bondan hanya jadi “penonton.”

Baru ketika Amien Rais mulai bersuara, ia merasa tidak bisa lagi berdiam diri. Ia pun menulis sebuah artikel untuk menyanggah. Tapi, ia mengaku, “Ternyata, saya mengalami ketakutan untuk menyerahkan naskah tersebut. Saya khawatir berbeda pendapat dengan seorang besar yang mempunyai jutaan umat.” Buru-buru ia menulis ulang artikel itu dalam bahasa Inggris. Hasil tulis ulang itu adalah All The Glitters.

Apa sejatinya yang ingin disanggah Bondan? Dalam sebuah ceramah, Amien mengatakan konsesi kepada Freeport untuk menambang emas di Irian Jaya adalah sebuah pelanggaran terhadap UUD 1945. ““Menurut saya, jalan yang paling baik adalah hentikan dulu. Tahan dulu. Biar kita amankan isi perut bumi kita sambil menunggu kita punya ahli dan modal, lalu kita garap sendiri,” kata Amien kepada para wartawan seusai ceramah.

Bondan tak sepakat. Ia bilang, “Romantika saja tidak bisa membangun bangsa. Di masa lalu, dengan romantika yang sama Presiden Soekarno melakukan nasionalisasi terhadap seluruh perusahaan asing. Hasilnya telah kita lihat dalam catatan sejarah ekonomi kita. Inginkah kita mengulang sejarah?”

Sejak artikel itu, Bondan kadung basah di kolam isu ini. Kabar kematian Michael de Guzman (eksekutif perusahaan tambang asal Kanada, Bre-X) pada 19 Maret 1997 lalu membuatnya gelisah. Berita ini sangat mencurigakan, kata Bondan. Ketika akhirnya Kuntoro Mangkusubroto dicopot dari pos Dirjen Pertambangan Umum, hasrat Bondan tak terbendung lagi. “Busang telah berkembang menjadi kasus besar yang harus dicatat sebagai pelajaran bagi kita semua,” tulisnya di pengantar Bre-X: Sebungkah Emas di Kaki Pelangi.

Ia menyusun struktur buku dan bab pertama Bre-X sambil menikmati istirahat yang nyaman di The Ritz-Carlton Bali dengan pemandangan indah di Jimbaran, menjelang ulang tahunnya ke-47. Untuk mencari bahan buat Bre-X, Bondan pergi ke Manila, Toronto, Calgary, dan Samarinda. Semua ongkos berasal dari kocek sendiri.

Bre-X kelak dikenal sebagai monumen jurnalisme investigasi di Indonesia. Banyak kalangan menjura pada karya tersebut. Saya pilih komentar almarhum Agus Sopian di majalah Pantau: “Winarno mencium sejumlah kejanggalan, antara lain soal gigi palsu yang tak pernah ditemukan pada mayat de Guzman. Penelusuran Winarno mengagumkan. Ia sampai sebuah perkiraan bahwa bukan tidak mungkin semua itu hanya sebuah “sandiwara kematian”…Kalau masih mau memuji, buku ini bukan sekadar menuangkan hasil liputan berskala internasional, tetapi juga cerdas menelanjangi modus operandi kejahatan ekonomi yang melibatkan bandit-bandit pintar.”

Saya memesan langsung ke Bondan untuk mendapatkan Bre-X via surat elektronik.

/3./
Bre-X ditulis hanya dalam dua bulan. Ini luar biasa mengingat tingkat kesulitan yang tinggi. Juga, biaya yang tak sedikit. Namun, Bondan punya sokongan dana untuk mengerjakannya. Pada 1987, ia diminta Sutrisno Bachir untuk menemani kakaknya, Kamaludin Bachir, melakukan bisnis udang beku di Jepang. Dari sana, Bondan memutuskan bekerja di perusahaan tersebut dan mengepalai cabang di Amerika Serikat. Kerja ini membuatnya banyak uang. Sebelumnya, ia pernah menjabat redaktur sejumlah media, eksekutif periklanan, juga juru kamera.

Jika di jenis tulisan yang membutuhkan ketekunan investigatif saja Bondan bisa lekas, demikian pula dalam tulisan-tulisan lain. “Saya beruntung mempunyai kemampuan untuk menulis dalam berbagai situasi,” kata Bondan di pengantar Seratus KIAT. Di tahun pertama, kebanyakan Kiat ditulis di atas pesawat terbang atau ruang tungggu bandar udara.

Demikian pula saat ia menulis cerita pendek. “Saya memang penulis cepat. Ada yang bilang bahwa saya ini sebenarnya bukan penulis, tetapi pengrajin, atau tukang tulis. Sebuah cerpen dapat saya selesaikan dalam waktu rata-rata tiga jam,” tulis Bondan di Pada Sebuah Beranda, kumpulan cerita-cerita pendeknya.

Tapi, kecepatan tinggi kadang bikin lengah. Terkait Bre-X, ia digugat Menteri Pertambangan dan Energi saat itu IB Sudjana. Nilai gugatannya fantastis: Rp 1 triliun. TEMPO (edisi 10 November 1998) menulis, “Pada halaman 186 buku itu disebutkan bahwa masalah Busang merupakan kelemahan Sudjana. Dan tidak hanya itu. Bondan menulis sikap inkonsisten Sudjana, yang dikatakan telah meminta PT Tambang Batu Bara Bukit Asam agar menyetor dana Rp 50 miliar ke rekening Sudjana….Selain itu, pada buku yang dipasarkan sejak Juni silam, kepribadian Sudjana tak luput dari sorotan. Sudjana dikatakan kurang pintar berbahasa Inggris dan daya ingatnya pendek. Gaya bicaranya kurang mengesankan dan sikapnya kurang manusiawi.”

Saya periksa, di Bre-X tanggapan dari Sudjana nyaris tak ada. Padahal, jika ingin, mencari kutipan dari Sudjana terbilang mudah saja. Saya menemukan di Kompas (12 November 1996, dengan bantuan Internet), Sudjana mengakui menerima Rp 50 miliar dari Rp 100 miliar yang diwajibkan kepada Dirut PT Tambang Batu Bara Bukit Asam. Kata dia, uang itu masuk ke rekening Mentamben, bukan rekening pribadi. “Itu fitnah dan sama sekali tidak benar. Yang menerima dan menyimpan uang itu Sekjen. Saya tidak pernah melihat uang itu kayak apa. Uang itu tidak pernah digunakan satu sen pun. Masih utuh dengan bunga-bunganya. Silakan kalau bapak-bapak tidak percaya, datang ke bank bersama biro keuangan,” katanya dalam rapat dengan Komisi VI DPR.

Bondan dihukum membayar ongkos perkara Rp 1.000 dan hukuman percobaan tiga bulan. Di tingkat banding, ia juga kalah. Saya belum sempat cek status di tingkat kasasi.

/4./
“SAYA merutuki diri sendiri. Masih kekenyangan dari sisa-sisa kalkun panggang natalan, saya berselonjor di kursi malas. Televisi masih terus berpindah-pindah dari tayangan CNN ke Metro TV dan SCTV. Mayat lagi! Mayat lagi! Mayat bergelimpangan di mana-mana. Dan saya masih di rumah, di Bukit Sentul, tak melakukan apa-apa.”

Itulah paragraf pertama dari catatan kegiatan Bondan ke Aceh, beberapa hari setelah tsunami melanda, Desember 2004. Ia menjadi relawan di sana. Dipilah dalam empat bagian, catatan itu ditulis dengan atraktif dan informatif.

Kini jarang Bondan menulis hal-hal di luar masalah kuliner. Dari yang sedikit itu, saya menemukan tulisan Bondan di TEMPO pada September 2009 soal pengelolaan merek-merek lama. Sekali lagi, ia mendemonstrasikan wawasannya mengenai produsen Mie Cap Ayam Dua Telor, keluarga Sampoerna, dan pemilik rokok Djarum.

Perihal buku, Rumah Iklan menjadi buku Bondan terbaru. Terbit pada 2008, buku itu bercerita tentang salah satu raksasa iklan di Tanah Air, Matari. Ken Sudarto, pendiri Matari, adalah sahabat dekat Bondan. Ketika Ken meninggal dunia pada November 2005 karena kanker, Bondan menulis obituari di Suara Pembaruan. Ia mengutip Ken, “Saya tidak akan menyerah. Saya akan menggunakan anak panah yang terakhir untuk menyelesaikan perang.”

/5./
Mereka yang berusia 30-an tahun atau lebih muda mungkin lebih mengenal Bondan sebagai presenter acara kuliner di televisi. Pertautannya dengan dunia kuliner dimulai tahun 2000. Saat itu jurnalis senior Ninok Leksono meminta Bondan menulis kolom pariwisata untuk Kompas Cyber Media yang dipimpinnya. “Saya lantas menulis catatan-catatan ringan tentang perjalanan di kolom Jalansutra, yang artinya pengetahuan tentang jalan-jalan. Setahun kemudian, saya memasukkan catatan tentang makanan-makanan yang saya cicipi dalam perjalanan. Ternyata, antusiasme pembaca makin besar,” ujar Bondan. Sejak itu, Jalansutra lebih banyak cerita tentang makanan, bukan jalan-jalan.

Bukan cuma pujian yang mampir. Sejumlah teman justru mengeritik. “Dulu kamu penulis kolom kritik sosial yang andal, lalu terkenal dengan kiat-kiat manajemen yang cerdas. Kok, sekarang malah menulis yang remeh-temeh seperti itu?”

Bondan tidak peduli. “Saya pernah didaulat sebagai kolumnis manajemen terbaik, dan saya masih dianggap sebagai wartawan investigatif terbaik. Apa salahnya menjadi penulis kuliner terbaik? Setidaknya, saya konsisten dalam upaya saya menjadi yang terbaik,” ujarnya kepada Femina. Sampai masa remaja, Bondan aktif di gerakan kepanduan. Dan, ia memeluk teguh salah satu ajarannya: on my honor, I will do my best.

Selamat ulang tahun, Pak Bondan. Meminjam Pak Ken, perang pasti masih panjang. Masih ditunggu luncuran anak-anak panah penjenengan. Terus dan terus.

One thought on “jalan seorang penulis”

Leave a Reply to Aunurrahman Wibisono Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *