gerimis, kopi, kebahagiaan

Havel dan Kafka,

Gerimis meningkahi pagi. Para pekerja kantoran bergegas di trotoar dengan payung terkembang. Gedung-gedung pencakar langit tegak di sekeliling. Dari jendela kafe itu, aku melihat mereka. Berteman kopi panas, roti hangat, dan The Wall Street Journal Asia. Sementara, kalian berada ribuan kilometer di tenggara.

Pada 1978, Andy Luong dan sekitar delapan puluh kerabat juga terpisah dari kampung halaman. Kejayaan kaum komunis mengancam, dan pergi adalah keniscayaan. Mereka meninggalkan Vietnam dan menjadi “manusia perahu.” Luong sempat terdampar di Malaysia, sebelum akhirnya menetap di California.

Pelarian itu tentu bukan tanpa risiko. “When our boat was about to leave Vietnam, we heard that the boat which left before us had capsized dan many peope drowned. But we know we couldn’s stay in Vietnam, so we took the risk and moved on…I know how it feels to go from something to nothing and work hard to gain something again,” kata Luong kepada The Wall Street Journal Asia.

(Aku letakkan sejenak koran edisi 21 Mei 2007 itu untuk menjawab pelayan. Aku sempat ingat, persis sembilan tahun silam, Soeharto juga menjalani “upacara something to nothing.”)

Kini, Luong berkocek supertebal, kondang selaku pendiri UMS Holdings Ltd., perusahaan berbasis di Singapura yang memasok komponen untuk industri semikonduktor. Pada 2006, laba bersih UMS melonjak dua kali lipat dibanding tahun sebelumnya menjadi US$ 15,8 juta. Hmm…aku menyesap lagi kopi yang sejatinya tak senikmat kopi di rumah kita.

Beberapa hari sebelum terbang, di rumah Cinere, aku menonton The Pursuit of Happyness (perhatikan huruf “y” itu…). Ini karya mengharukan, diilhami cerita nyata, tentang perjuangan Chris Gardner untuk bertahan hidup bersama Christopher, anaknya. Mereka terusir dari rumah sewaan, bahkan terlunta-lunta di jalan. Kisah ini berlatar Amerika Serikat saat Reagonomics diterapkan pada 1980-an. Defisit melangit, subsidi dipangkas.

Moral film ini terang-benderang: jangan pernah menyerah. Di lapangan basket itu, Chris (Will Smith memerankan sosok ini dengan oke) berujar kepada Christopher, ” You got a dream, you gotta protect it. People can’t do something themselves, they wanna tell you that you can’t do it. You want something? Go get it. Period…Don’t ever let someone tell you, you can’t do something. Not even me.” Kalian tahu, anak-anakku, Gardner kini kaya-raya berkat kerja keras.

Luong dan Gardner hanya sampel dari ikhtiar memburu kebahagiaan (atau, lebih tepatnya: kemakmuran). Dan, tampak dari jendela kafe, orang-orang berdasi itu melakoni hal serupa. Bersicepat menuju lokasi kerja, ketika gerimis membasahi kawasan bisnis Hong Kong yang sibuk.

Aku kembali menyeruput kopi yang, ah, memang tak lebih nikmat ketimbang seduhan di rumah sendiri.

3 thoughts on “gerimis, kopi, kebahagiaan”

  1. eh bung, tulisah-tulisan elu dahsyat betul. Dari jaman ‘gadis berambut panjang pembaca Erich Fromm” hingga blog ini, tulisan elu makin yahud dan asoy. Ini bukan filsafat bola voli bung…he..he

  2. he..he..bisa aja lu. btw, gue nonton Chris Gardner sekali waktu di acara Oprah. Si Will Smith diundang juga. Hebat emang si Gardner itu, Will Smith terharu berkaca-kaca matanya (jangan-jangan lagi akting sih..he..he).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *