segregasi, si pemantik api

Havel dan Kafka,

Jum’at siang, 3 Mei 1968. Sekitar 500 mahasiswa kiri menempati lapangan Universitas Sorbonne. Mereka memprotes penutupan Fakultas Sastra Universitas Nanterre dan penangkapan enam aktivis kampus yang terletak di pinggiran Paris tersebut.

Para petinggi Sorbonne menilai kerumunan itu telah melampaui batas dan harus bubar. Imbauan diutarakan, tapi percuma. Lalu, polisi bersiap-siap ambil posisi. Mahasiswa pun mulai mempersenjatai diri dengan potongan kaki-kaki kursi.

Menjelang pukul lima sore, polisi masuk. Mereka menenteng tongkat karet. Perang pun pecah. Tak seimbang, mahasiswa menawarkan gencatan senjata dan negosiasi. Kesepakatan tercapai, tapi ternyata beberapa mahasiswa dicokok dan dijebloskan ke truk. Mengetahui hal ini, anak-anak muda itu beringas lagi. Batu-batu konblok melayang di udara, diarahkan ke para polisi.

Pertempuran meluas ke sejumlah ruas lebuh di Paris. Para komuter yang menumpangi kereta subway, tak menyadari bahwa perang berlangsung sengit di atas mereka.

Pada awalnya, anak-anak muda itu dipandang sebelah mata. Pentolan Partai Komunis Perancis Georges Marchais mendeskripsikan mereka sebagai, “Anak-anak borjuis… yang segera melupakan revolusi untuk mengelola perusahaan ayah mereka dan mengeksploitasi para buruh…”

Marchais tak sembarang omong. Sebagian besar anak Nanterre berasal dari kelas menengah. Pendidikan bukan sarana mobilitas vertikal. Hanya sekitar 10% mahasiswa yang datang dari keluarga buruh kasar—bandingkan dengan kampus-kampus lain yang umumnya 30%. Kontras bahwa kebanyakan polisi yang mereka hadapi datang dari golongan buruh dan petani.

Wajah kelas menengah mereka terlihat dari isu pemantik awal: penolakan atas segregasi, ketika asrama mahasiswa dibuat terpisah dari asrama mahasiswi. Ada motif moral di belakang kebijakan ini: kampus bukan kancah seks bebas. Tiga tahun sebelumnya, ratusan mahasiswa menghalang-halangi para pekerja yang hendak membuat pos pengawas di depan asrama putri. Rektor terpaksa memanggil polisi untuk mengawal proses pembangunan.

Pada 14 Februari 1968, para mahasiswa bergerak lagi dan menuntut agar segregasi itu dihabisi. Konsesi diajukan. Menteri Pendidikan Alain Peyrefitte merilis aturan: para mahasiswi boleh masuk kamar mahasiswa sampai pukul 11 malam. Satu arah. Mahasiswa tak boleh masuk. “Putri mesti memiliki pilihan bebas. Mengizinkan anak lelaki memasuki asrama putri adalah menjerumuskan semua anak perempuan dalam bahaya,” ujar Peyrefitte.

Tawaran itu ditampik. Kemarahan kian mendidih. Tema meluas: ini pemberontakan atas sistem dan praktik kapitalisme, pun serangan terhadap hipokrisme tata nilai. Mantera-mantera Mao dirapal, Franz Fanon dan Che Guevara dikutip. Menjejak klimaks saat April luruh, dan Mei bertengger di almanak. Ketika represi rezim Charles de Gaulle berlanjut, akhirnya dukungan mengalir: serikat buruh, kaum intelektual, kaum komunis. Paris sempat lumpuh akibat pemogokan massal.

Toh, gerakan itu gagal—meski gemanya masih terdengar sampai detik ini, sayup-sayup. Sebagian besar mahasiswa balik ke kampus, hanya segelintir yang khusyuk terus menjadi eksponen gerakan kiri. Dan, 21 tahun kemudian, Francis Fukuyama menyeru: sejarah telah berakhir!!! Namun, siapa bilang mahasiswa tetap dilarang menyelinap ke bilik mahasiswi?!

2 thoughts on “segregasi, si pemantik api”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *