kemiskinan di cobek batu

Havel,

Sabtu menjelang sore, pekan lalu. Mobil-mobil berpelat B berseliweran. Aku memergoki dia di depan sebuah factory outlet. Niscaya bocah lelaki itu hanya sedikit lebih besar ketimbangmu. Gerimis menikam tubuh kecilnya. Dan…..dia sedang menjajakan cobek batu.

Ternyata, Kompas pernah mengisahkan fenomena ini, beberapa bulan silam. Ini kutipannya:

“Kian hari kian banyak anak usia sekolah berkeliaran menjajakan cobek batu di sekitar Kota Bandung. Sebagian besar dari puluhan anak yang putus sekolah itu berasal dari Desa Jayamekar, Padalarang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Mereka memilih berjualan cobek agar keluarga bisa makan. Penghasilan orangtua mereka sebagai buruh tani tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar keluarga.

“Seorang anak penjual cobek biasanya membawa 6-10 cobek yang beratnya sekitar 10 kilogram. Harga cobek bervariasi, Rp 20.000-Rp 35.000. Di desa harga cobek hanya Rp 5.000-Rp 10.000. Karena itu, mereka memilih berdagang ke kota.”

“Cobek diambil dari pabrik cobek di sekitar Padalarang. Kalau sehari mereka hanya bisa menjual cobek kecil seharga Rp 20.000, Rp 10.000 harus disetor pada juragan cobek. Penjual cobek cilik ini hanya mendapat Rp 4.000 karena Rp 6.000 untuk ongkos pergi-pulang Kota Bandung-Padalarang.”

Terbayang terus paras lugu itu dengan perasaanku yang mendadak memar. Teringat kamu yang tahun depan juga bakal memasuki sekolah dasar. Terpatri angka belasan juta yang disodorkan para pengelola pendidikan partikelir….

3 thoughts on “kemiskinan di cobek batu”

  1. Yus,
    Aku mulai serius mengikuti tulisan-tulisanmu. Di sini.
    Aku seorang penulis diary. Hingga 1997, saat istriku membunuh kebiasaan itu hingga tuntas.

    Aku berterimakasih pada tulisanmu. Aku iri, karena 10 tahun ini tak ada yang kutulis di diaryku. Aku akan buat blog. Aku akan mengejar. Namun jangan tunggu aku.

    DS

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *