kata tak lazim

Havel,

Pernah mendengar kata “tumpur”? Aku belum pernah. Aku memergoki kata itu di sebuah berita ekonomi di majalah Tempo, dua atau tiga edisi yang lalu. Lantaran penasaran, aku ambil “kitab primbon” milik Sofyan Hartanto, editor bahasa kami. Ternyata, arti tumpur adalah: 1. habis sama sekali, 2. binasa.

Aku lantas terpekur: tidakkah Tempo sedang menempuh risiko dengan menggunakan kata itu? Risiko bahwa akan ada cukup banyak pembaca yang “tersesat” karena tak mengetahui maknanya — sepertiku. Tentu, ini bukan kali pertama, Tempo melansir kata-kata tak lazim di teks-teks beritanya.

Di sisi lain, aku juga melihat jasa Tempo untuk kian memperkaya khazanah pergaulan sosial dengan kata-kata yang selama ini hanya ngumpet di kamus.

Sampai detik ini, sebagai jurnalis, aku sendiri agak jeri untuk menempuh langkah seperti Tempo — selain memang tak punya perbendaharaan kata sekaya mereka (he..he..he..). Galibnya, aku baru berani jika kata bersangkutan telah sempat dipakai media lain, satu atau dua kali.

Atau, kamu punya pendapat lain?

0 thoughts on “kata tak lazim”

  1. bung, mungkin penulisnya “halak hita”.
    soalnya di medan orang sangat biasa untuk bilang tumpur.

    oya, satu lagi, gw juga curiga maksud penulis menuliskan kata2 itu, biar orang2 seperti bung lebih rajin buka kamus 🙂

    toh, sejauh ini cuma bung yang protes.

    btw, di berita kompas tentang kenaikan BBM (yang judulnya “pemerintah keterlaluan), di salah satu bagiannya penulis menggunakan kata “tegal” (…mereka adalah orang-orang yang tegal [italic]…). nah, kalo yang ini barangkali ditulis orang-orang dari tempat asal bung.

    ah sudahlah, pening pun kepalaku jadinya…

Leave a Reply to Mahansa Sinulingga Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *